04 | Darubeksi

466 62 21
                                    



04
Darubeksi




Pagi. Pepohonan yang teduh bergemerisik karena diterbangkan semilir angin. Kabut masih mengambang tipis di permukaan halaman sekitar parkiran kampus. Matahari pagi melewati sela-sela dedaunan menciptakan bayangan yang bergerak-gerak gelisah di tanah. Dari kejauhan terdengar suara burung-burung dari area Bulaksumur yang hanya dipisahkan satu ruas jalan yang tak terlalu lebar. Semuanya terlihat biasa saja dan seharusnya pagi ini menjadi awal yang baik bagi semua orang yang memulai kegiatan rutin mereka. Tapi tidak untuk satu orang.

Jam masih belum menunjukkan pukul 7 tapi Janu telah sampai di kampus. Ia berkali-kali menguap karena mengantuk. Matanya lebih sipit dari biasanya karena kurang tidur. Beberapa adik tingkat yang bersisipan dengannya di lorong merasa segan menyapa Janu yang auranya terlihat tak mau diganggu pagi itu. Gilang yang mengajak mereka nongkrong di angkringan dekat kosan untuk mengobrol selepas sesi jamming mereka di Djendelo. Belum lagi, tiba-tiba paginya, Janu ditelepon pak Aminoto untuk mengambil alih meneliti tugas kelas Ilmu Negara karena pak dosen yang harus rapat ke Rektorat seharian ini, padahal tugas itu harus dibagikan tetapi belum diteliti! Janu mengumpat sekali lagi dalam hatinya.

Kalau bukan karena dia sangat butuh uang untuk hidup mandiri dari ayahnya, ia tak akan mau mengambil tawaran pekerjaan pak Aminoto awal semester lalu. Janu tahu bekerja menjadi asisten dosen kelas pak Aminoto akan sangat berat, tetapi gajinya lumayan dan pak Aminoto adalah orang paling fair yang pernah Janu temui. Harusnya Janu tak banyak mengeluh karena hal ini telah menjadi keputusannya. Tapi ya, mau bagaimana lagi, ia selalu grumpy di pagi hari seperti ini kalau harus ke kampus jam 7.

"Wah, mas Janu, mruput mas? -Wah, mas Janu, berangkat pagi, mas?- " ujar mas Maryanto dengan nada mencemooh dan bercanda. Laki-laki yang menyunggingkan senyum tipis itu adalah petugas pengajaran yang harus Janu temui pagi ini. Mas Maryanto adalah pengajaran paling muda yang ada di kampus Hukum. Ia baru saja menginjak kepala tiga dan anaknya sudah dua, yang paling besar baru masuk SD dan yang terakhir baru berusia satu tahun lebih sedikit. Laki-laki itu lumayan akrab dengan Janu. Selain karena dulu Janu sering bermasalah dengan absensi di kelasnya, juga karena meski sering tidak masuk kelas nilai dan tugas-tugasnya diakui bagus-bagus oleh dosen.

Janu mendengus sambil mau tak mau tersenyum kecut. "Bapakmu itu lhoh mas Mar, pagi-pagi udah nyuruh aku ke kampus." Jawab Janu setengah kesal setengah bercanda. Mas Maryanto hanya bisa terkekeh mendengar penuturan Janu dan penyebutan pak Aminoto sebagai bapaknya Mas Maryanto. Selain karena memang umur pak Aminoto itu pantas menjadi ayah Mas Maryanto, juga karena Mas Maryanto ini sering kali ditugaskan untuk meyampaikan pekerjaan-pekerjaan mahasiswa yang harus diserahkan dari dan ke pak Aminoto.

"Oalah mas Janu, mas Janu. Lha wong kamu itu lho anak emasnya pak Aminoto. Awakku iki kan cuman petugas pengajaran to mas." Ujar mas Maryanto membalik candaan Janu. Janu hanya bisa mrenges karena dikatai seperti itu oleh si pengajaran muda. Memang, begitu-begitu pengajaran juga tahu siapa yang jadi anak emas siapa. Apalagi si anak emas ini cukup nyeleneh dan beda daripada mahasiswa kesayangan dosen pada umumnya.

Mas Maryanto beranjak dari duduknya dan membuka loker lemari di belakangnya. Janu menunggu di samping jendela pengajaran sembari mengetuk-ngetukkan jarinya di kusen jendela, rasa-rasanya ia ingin merokok supaya kantuknya hilang.

"Ngantuk, mas?" tanya mas Maryanto sambil menoleh kepada Janu yang menguap sangat lebar. Matanya menatap lorong bangunan kampusnya yang sepi di bagian pengajaran. Anak-anak angakatan bawah yang tadi bersisipan dengannya saat pagi pasti sudah masuk kelas sekarang.

TEBING DAN GELOMBANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang