11
Kalayu Sagara
Tasya memandangi pemandangan yang terlihat dari kaca jendela bus metromini yang membawanya menjauhi kota Jogja. Hutan-hutan berselang pemukiman penduduk yang jarang. Rintik-rintik hujan yang turun membuat suasa muram, sangat kontras dengan kegaduhan yang diciptakan oleh teman-teman seangkatannya. Ia menoleh sekilas ke arah teman-teman perempuan yang sedang mengobrol mengenai kegiatan makrab yang sedang mereka tuju. Di belakang bis terdengar suara genjrengan gitar dari anak-anak laki-laki dan suara mereka mengiringi perjalanan yang sempat tertunda bulan lalu.
Aroma laut dan hujan membaur di udara ketika mereka sampai di salah satu pantai di selatan Gunungkidul. Tasya turun dari bus dan menguncir rambutnya sejalan ia bersamaan dengan teman-temannya menuju tempat mereka akan tinggal selama makrab yang hanya dilakukan selama satu malam. Dari kejauhan ia melihat para senior yang berkerumun telah sampai di tempat itu duluan.
Seorang kakak tingkat menyambut rombongan mereka dengan briefing mengenai pembagian tempat menginap, aturan, dan jawal kegiatan. Pandangan Tasya melampaui itu semua dan menemukan Janu bersama dengan anak-anak himpunan. Ia terus mereka ulang pertemuan anehnya dengan Janu di tenda pengungsi Merapi waktu itu sepanjang kegiatan malam makrab mereka.
*
Tasya bergerak-gerak gelisah di dalam sleeping bag yang ia pakai. Teman-teman yang juga ada di dalam tenda yang sama dengannya, sudah sejak tadi terlelap karena kelelahan mengikuti rangkaian acara makrab yang diluar dugaan, sangat menyenangkan. Tapi entah, mengapa Tasya malah tidak bisa tidur padahal mereka aka nada acara inisiasi sebelum subuh nanti. Setelah beberapa menit, ia membuka handphone dan mendapati sebuah pesan masuk. Mengernyit dalam, ia pun berbalik dalam posisinya miring hingga jadi terlentang, dan menoleh kepada teman-temannya yang tak bergerak sama sekali dalam tidur. Tasya kembali berusaha untuk tidur, sayang, pesan yang dilayangan kepadanya itu terasa lebih menarik dibandingkan meneruskan menghitung domba untuk tidur.
Tasya meraih senternya yang ia letakkan di atas kepalanya. Sebisa mungkin tidak terlalu berisik, ia pun berusaha untuk keluar dari tenda dan merapatkan jaketnya yang bertudung kepala. Ia berjalan pelan diantara angin laut yang berderu sembari menuju ke arah pondokan milik panitia.
"Psst, Tasya."
Tasya menoleh ke arah kanannya. Sang pengirim pesan tersenyum memamerkan giginya yang rapi membuat Tasya mengernyit tetapi tetap mendekati laki-laki itu. Gerry menegakkan tubuhnya yang bersandar pada dinding di samping pondokan.
"Bang Gerry kenapa nggak ikut nyiapin upacara pengangkatan besok pagi deh? Malah ngajakin menyelinap begini." Ujar Tasya ketika mereka bertemu dalam langkah masing-masing.
"Biarin aja deh, kan angkatannya si Bima yang jadi panitia utama. Aku ya cuma lihat saja." Jawab Gerry sembari menggendik menuju ke arah suara deburan ombak.
"Kau pun kenapa tak tidur?" tanya Gerry kemudian sebelum Tasya berhasil menimpali.
"Nggak bisa padahal udah kucoba." Jawab Tasya sembari mengerutkan hidungnya.
Gerry terkekeh. "Bukan springbed empuk sih yang tersedia di tenda."
"Yaelah, kalau camping juga tidurnya di sleeping bag, bang."
Keduanya berjalan dalam keheningan menuju ke bibir pantai yang gelap. Bayangan-bayangan yang ikut berjalan di depan mereka semakin panjang sejalan mereka menjauhi pondok-pondok di pinggir jalan. Hanya suara angin dan ombak saja yang mengiringi langkah mereka. Kadang-kadang, Tasya melirik ke arah sampingnya, mengamati bagian sisi wajah Gerry yang tertimpa bayangan. Wajah laki-laki itu terlihat begitu keras oleh garis-garis yang tegas. Dalam benaknya, mau tak mau Tasya mereka-reka, apakah yang sebenarnya ingin Gerry bicarakan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEBING DAN GELOMBANG
Dla nastolatkówBanyak orang bilang bahwa laut mampu menghisap semua kegelisaan orang-orang yang mengadu kepadanya. Mungkin juga sama seperti ia yang menyukai tempat itu lebih dari siapapun yang pernah berkunjung ke sana. Tak ada yang tak laut ketahui tentang dirin...