08 | Cakadidi

351 63 31
                                        

08
Cakadidi



-

Sebelumnya,

"Jangan nangis. Saya sama sekali tidak simpatik dengan tindakanmu itu." Ujar Janu meniru kalimat yang pernah Tasya lontarkan mengenai dirinya di suatu ketika.

Tasya sangat familiar dengan kalimat Janu yang terakhir. Itu kalimat yang pernah ia katakan ketika ia sedang bersama Manda and the geng di kantin bonbin. Kalimat yang entah Janu yang saat itu duduk dua meja di belakang Tasya, laki-laki itu dengar atau tidak. Kalimat itulah yang menyadarkan Tasya bahwa tidak seharusnya ia membiarkan dirinya diketahui oleh laki-laki yang ia benci. Tidak seharusnya pulalah, ia membiarkan sisi dirinya yang lemah ketahuan menangis atau pun sedih karena kebenaran kalimat Janu mengenai dirinya. Tasya mengerjapkan mata, menghalau kesedihan di pelupuk matanya dan menatap Janu dengan tatapan marah.

"Kamu tak tahu apa-apa. Kamu tak berhak menilai apapun yang aku lakukan." Ujar Tasya sembari menunjuk muka Janu dengan telunjuk tangan kanannya. Kata-kata Tasya itu sangat tenang sekaligus penuh kemarahan.

Tasya meninggalkan Janu dalam ketermanguan. Perempuan itu berjalan meninggalkan Janu yang menatapnya dengan ekor matanya.


*


Sejak menangis di dalam mobil Bima beberapa hari lalu, belakangan Tasya jadi muram. Kalimat pedas Janu itu benar-benar menampar seluruh kesadaran dan harga diri Tasya selama ini sejak ia divonis dokter untuk sebaiknya tidak bermain basket lagi jika ia ingin tetap bisa bermain piano. Ia memang diberikan pilihan untuk merelakan salah satu hal yang ia cintai, meski sebenarnya bermain piano itu adalah tuntutan orang tuanya tetapi akhirnya ia jatuh cinta juga pada hal yang dulu ia benci itu. Tasya tahu, meski dokter memberikannya kesempatan untuk memilih, toh nyatanya ia sebenarnya tak punya pilihan karena orang tuanya, ah, lebih tepatnya ayahnya, memarahinya habis-habisan waktu itu.

Terbanglah kesempatan Tasya memilih basket karena permainan itu adalah yang membebaskan dirinya dari perasaan kesepian selama ini. Tak ada yang mengalahkan perasaan berdebar ketika adrenalin memenuhi dirinya ketika sorah-sorai pendukung tim mereka bergemuruh di dalam GOR di saat pertandingan basket, tidak juga sebanding dengan tepuk tangan orang-orang yang datang menonton recital. Lalu semua itu lenyap, mimpinya menjadi atlet basket mewakili kota Jogja untuk pertandingan nasional, maupun menjadi pianis yang diam-diam memiliki hobi lain.

Tapi bukannya setelah terapi tangan Tasya sudah sembuh seutuhnya? Nyatanya, yang terluka saat itu tak hanya otot tangan kanan Tasya saja, tetapi juga mentalitas Tasya. Penolakan di dalam dirinya atas fakta bahwa ia tak bisa benar-benar bermain basket, apalagi menjadi atlet wanita, membuatnya melakukan penolakan mental atas kesembuhannya.

Ia pernah mencoba untuk kembali bermain piano, bagaimanapun ia tak bisa meninggalkan salah satu hal yang menjadi subjek dedikasinya. Tapi tangan kanannya tak bisa diajak kompromi. Ia tak bisa digerakkan lagi seperti dulu apalagi untuk menggapai tuts-tuts yang jaraknya berjauhan. Ia tak bisa memainkan lagi Fur Elise secepat dulu, seemosional dulu. Tangan kanannya terlalu pengecut untuk kembali cedera. Atau memang, jauh dalam diri Tasya, ada kesadaran lain yang tumbuh tanpa ia bisa hentikan. Kalau tak bisa bermain basket lagi, ia juga tak bisa bermain piano lagi.

"Jangan nangis. Saya sama sekali tidak simpatik dengan tindakanmu itu."

Tiap kali teringat tatapan tajam yang laki-laki itu layangkan kepada Tasya ketika bibir laki laki itu mengatakan kalimat yang begitu dingin kepadanya, emosi Tasya rasanya menggeledak. Apalagi ketika ingat dirinya yang menangis karena kalimat laki-laki itu ada benarnya. Sungguh ia merasa dirinya menyedihkan dan sekaligus marah, ingin mengamuk laki-laki itu jika mereka bertemu.

TEBING DAN GELOMBANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang