05 | Gagawang Gagartang

573 61 16
                                    

05
Gagawang Gagartang



Bau belerang menyengat memaksa ia membuka matanya. Ia terdiam mendapati sebuah kawah raksasa yang seperti perbukitan yang baru saja dihantam oleh meteorit, mengepulkan asap tipis dari pusat rekahan dihadapannya. Linglung, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapati angin menerbangkan debu-debu yang menempel di permukaan tanah cadas berkerikil. Rumah-rumah penjaja jajanan dan oleh-oleh sepi. Ia seolah bisa melihat benda-benda yang dijual di kedai-kedai itu bergoyang terkena angin.

Ia berbalik dan berjalan menuruni bukit, menyusuri jalanan yang menurun, melewati mobil-mobil yang berjajar, juga angkot-angkot berwarna merah yang kosong tanpa penumpang. Ia mengikuti kemana jalanan itu menurun dan tetumbuhan semak rendah berubah menjadi rimbunan teh yang hijau menghampar menuju ke sebuah bangunan berkubah putih yang dikelilingi pepohonan tinggi. Ia berjalan lurus menuju pintu yang terbuka untuknya.

Kegelapan merengkuhnya dan ia seolah berjalan pada bidang yang hampa, kakinya seolah melangkahi udara dan tak berpijak pada apapun, sampai kemudian ruangan itu mulai terang oleh bintik-bintik kecil yang merekah menjadi bintang-bintang di angkasa. Ia berjalan semakin mendekat dan mendapati dua sosok yang ia kenal sedang berdiri bersisihan dan bergandengan tangan satu sama lain. Jantungnya berdegub kencang, ada sesuatu mengganjal di kerongkongannya. Ia mengenal kedua orang yang ia dekati itu. Kikan dan Jay. Dan ia tahu, saat ini ia sedang ada dalam kilasan-kilasan yang melampaui hitungan ruang dan waktu.

Ia melangkah semakin mendekat melihat ekspresi keduanya yang terlihat lelah tengah menatapnya lekat-lekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia melangkah semakin mendekat melihat ekspresi keduanya yang terlihat lelah tengah menatapnya lekat-lekat. Baru juga ia berhasil menelan ketakutannya, ia hendak membuka suara, kedua sosok itu saling berpandangan. Sekejap genggaman tangan itu terlepas dan keduanya meraih latar belakang angkasa di belakang mereka seperti menggenggam sebuah tirai. Dan seperti menyibakkan tirai jendela, keduanya menjauh dan menarik seluruh ruang angkasa itu seperti menyingkap selembar kain yang menutupi pemandangan.

Seketika itu, matanya disergap oleh cahaya yang sangat terik dibandingkan ruang angkasa hampa yang gelap. Ia serta merta, mau tak mau memejamkan mata dan tangannya refleks menghalangi cahaya itu agar tak menimpa matanya yang berusaha untuk mengetahui apa yang sedang ia hadapi. Cahaya itu menyurut, ia membuka mata dan mendapati dirinya berdiri di muka tebing. Di bawah tebing itu, ombak berdebur menabrak dinding batu karang hitam. Angin menderu dengan hebatnya, menggoyangkan rumput-rumput di lembahan itu. Tetapi entah mengapa, semua suara ombak dan angin yang bercampur jadi satu itu seperti terdengar dari jauh. Seperti badai yang tak kunjung datang.

Tiba-tiba ia menyadari ia tak sendiri. Ia menoleh ke arah kanannya secara perlahan dan mendapati Surya dengan wajah pucat yang dipenuhi kesedihandan penyesalan menatap ujung tebing seolah-olah sedang berpikir antara mau melompat atau tidak. Sadar sedang diamati dari samping, Surya lalu menoleh ke arahnya. Saat mata keduanya bertemu, ekspresi Surya berubah jadi sendu dan mendamba, seolah kerinduan menghinggapinya tiba-tiba. Tapi entah mengapa ia sadar, bukan ia yang sedang Surya tatap. Tetapi sesuatu –seseorang- yang ada dibalik punggungnya. Perlahan, ia membalikkan badan dan mendapati Tama menatapnya sambil mengulum senyum yang ia paksakan. Mukanya terlihat sayu dan kurang bersemangat. Kesedihan menggelayuti sorot matanya.

TEBING DAN GELOMBANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang