[2] Coffee shop

26 5 0
                                    

DAY 2

-

Aroma kayu manis bercampur segala jenis kopi menguar di seantero ruangan. Ini favoritku, favorit seorang Aubrianna.

Sepulang sekolah, aku menepati janji bersama Ardi untuk berdiskusi masalah persyaratan masuk PTN di luar daerah. Berhubung sudah memasuki bulan Januari, jadi aku dan Ardi harus serius memilih akan melanjutkan pendidikan kemana nanti.

Jadi disini lah kami, Kafe kopi dekat sekolah. Untung Ardi memilih Kafe ini, Ardi memang luar biasa. Kami duduk di meja yang dikhususkan untuk empat orang.

"Bry, kita kecepatan nggak sih?" Kata Ardi yang duduk berhadapan denganku. Ia menarik lengan jaket hingga siku.

"Kayaknya enggak deh, Ar. Tadi Kak Farah bilang udah deket," jawabku. Kami memang menunggu Kak Farah, alumni SMA Anthalia yang jadi narasumber kali ini. Berhubung dia kuliah di universitas yang kami mau.

"Hai, maaf ya lama," Kak Farah datang tak lama kemudian. Ardi otomatis pindah ke sebelahku, mempersilakan Kak Farah duduk di hadapan kami.

"Kirain Kakak nggak bakal dateng," kekeh Ardi. "Yaudah nih, langsung mulai aja diskusinya."

Setelah itu, aku dan Ardi mulai menanyakan beberapa hal yang masih membingungkan. Kak Farah pun menjelaskan secara detail sambil sesekali menceritakan pengalamannya.

"Jadi ya gitu. Aku saranin kalo ada tes semacam itu, ikutin aja. Meskipun at the end kalian nggak milih univ itu, jadiin opsi aja. Tapi kalian harus nyiapin plan yang lain sih, jangan berpatok sama satu prodi doang," saran Kak Farah. Setelah kurang lebih dua jam konsultasi, Kak Farah pamit pulang.

Aku menunjuk Ardi. "Udah dapet pencerahan belum lo? Muka lo masih kayak orang bloon," aku tertawa setelah melihat reaksi Ardi. Matanya melotot, ia mendongak menyisakan sedotan yang lucunya masih tersangkut di bibirnya.

"Udeh, ah. Emang gue se-bloon itu apa? Sampe nggak ngerti omongan gitu doang," tandas Ardi. Ia menggoyangkan gelasnya kemudian memperlihatkannya padaku. "Bry, pesen lagi gih."

Aku mendesis. "Ngeropotin mulu lo!"

Aku tetap beranjak dan menuju kasir yang sudah mengenalku. Aku menyebutkan pesanan dan seperti biasa, aku harus menunggu hingga pesananku siap. Aku melihat-lihat kue di balik etalase, enak-enak semua.

"Aubrey nggak mau nyoba kuenya?" Tanya salah satu barista yang aku kenal, Yogi. "Minta bayarin Ardi aja, tuh."

Aku terkekeh dan menggeleng. "Nggak usah deh, Gi—"

Omonganku dipotong langsung oleh Yogi, Yogi beralih ke Ardi. "Ar, Aubrey pengen kue ini. Bayarin ya, Sob," seru Yogi. Ardi mengacungkan jempolnya sambil mengatakan 'ambil-ambil aja, gue yang bayar' padaku. Dih, gaya banget tu orang.

Sambil bersedekap menunggu pesanan, ekor mataku menangkap meja di pojok kafe ini. Meja bernomor 12, yang lebih sering sepi dan jarang diduduki pengunjung. Masuk akal sih, karena meja itu terletak paling pojok dekat wastafel. Yang duduk di situ pasti sangat membutuhkan suasana yang sepi dan terasingkan dari siapa pun. Kalau aku disuruh duduk di situ, aku pasti langsung menolaknya mentah-mentah.

Yogi menyerahkan seluruh pesananku. "Merci. Lain kali jangan gitu, Gi. Nggak enak gue sama Ardi," bisikku. Yogi nyengir lebar, dan mengangguk mantap.

Aku kembali ke mejaku, Ardi memainkan ponselnya dengan tangan kiri yang terjulur ke sandaran kursi sebelah. Aku duduk di sebelah kirinya, meletakkan iced coffee frappe pesanannya.

Ardi mendongak, tersenyum lebar. "Makasih loh."

"Iye, makasi juga. Cepetan ya, udah mau maghrib," responku yang dibalas gumaman oleh Ardi.

Setelah Ardi selesai, kami beranjak meninggalkan Kafe Nostalgic. Dari dinding Kafe yang setiap sisinya full menggunakan kaca, aku sempat melihat sudah ada yang duduk di meja nomor 12 dengan posisi memunggungi dinding kaca. Aneh, mau-maunya duduk di sana.

"Bry, malah diem. Aubrey! ayo katanya keburu malem," panggil Ardi menyadarkanku yang masih memperhatikan Kafe, aku pun berlalu menuju mobil Ardi.

-

Author's note

Apa ya?

Ya gitu pokoknya.

Intinya pict quotes di atas bener-bener mewakili gue. Iyalah, gue yang bikin. Ha.

Mmm, maksudnya mewakili cerita ini.

20 December 2016

The Boy At The Corner TableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang