DAY 7
-
City car berwarna hitam metalik melaju membelah jalanan besar. Guyuran hujan menghantam kaca mobil bagian depan, menimbulkan suara berisik yang mengusik perempuan di balik kemudi.
Perempuan itu berdecak sebal, sepertinya tidak suka mengemudi di saat hujan deras. Berulang kali ia menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya. Jalanan di depan masih lengang, jadi si perempuan bisa melajukan mobilnya lebih cepat.
Mobilnya berbelok pada jalan bercabang memasuki kawasan hutan pinus. Sejauh mata memandang, pohon pinus berjajar di kanan kiri menjadi pembatas jalan. Perempuan itu menegakkan badannya bersamaan dengan menguatnya cengkeraman pada setir mobil.
Tikungan tajam di ujung kawasan hutan pinus, beberapa meter di depan. Ia menginjak pedal gas lebih kuat.
Suara decitan ban, pecahan kaca, teriakan seorang gadis.
Seketika, semua menjadi gelap.
Aku tersentak dan spontan terduduk di tempat tidurku. Kutatap sekeliling, dan ya, syukur aku masih berada di kamarku. Ruangan bercat pink keemasan yang diterangi oleh sedikit cahaya dari lampu tidur di atas nakas.
Yang tadi, untungnya hanya mimpi.
Aku memejamkan mata, berusaha menetralkan degup jantung yang sudah tak karuan. Kusingkapkan selimut dan bersandar pada head board. Mimpi barusan, terasa nyata hingga rasanya aku sulit untuk kembali tidur.
Akhir-akhir ini, aku selalu gelisah. Entah pikiran yang selalu terpusat pada hal yang tidak masuk akal, perasaan tidak enak, dan terakhir, mimpi buruk yang kembali datang.
Aku rasa, aku juga pernah bermimpi persis seperti barusan. Bedanya, mimpiku hanya sampai saat perempuan mengemudikan mobil hingga memasuki hutan pinus. Itu saja.
Tapi yang tadi itu apa? Apa yang terjadi? Semua menggelap setelahnya.
Aku memeluk kedua lututku dan menahan ketakutan yang kini menyergap. Pikiranku kembali kacau, sudah sejak kemarin aku bertekad untuk menghilangkan ketakutan aneh yang selalu berkelakar di pikiran.
Cemas, itu yang mendominasiku saat ini.
Kuputuskan untuk menyingkirkan pikiran anehku dan mencoba untuk kembali tidur. Selimut sudah kutarik menutupi setengah badanku. Mataku menyapu seantero kamar, dan terpusat pada kalender di atas nakas. Aku ingat, tepatnya tiga minggu lalu mimpiku sama seperti mimpi buruk barusan.
Same nightmare, same day, and in the same month.
[]
Aku sedang bersiap-siap saat Ardi membunyikan klakson mobilnya tepat di depan rumahku. Tak lama, Ayah menyerukan bahwa jemputanku sudah datang.
Aku terkikik sambil mempercepat kegiatanku. Tinggal memasang dasi dan jam tangan yang bisa kulakukan sambil berjalan ke teras. Di sana, Ardi sudah berdiri sambil memerhatikan Ayah yang sedang mengecek mesin mobil.
"Di, kamu bisa benerin mesin mobil?" Tanya Ayah yang masih sibuk mengutak-atik benda di depannya.
"Bisa sih, Om. Tergantung yang mana dulu. Kalau rumit, saya ya nggak bisa," ucap Ardi sambil menggaruk tengkuk lehernya.
"Wah, bisa dong benerin ini?"
"Ayah," selaku. Ayah melongo, aku menghela napas. "Bisa telat, Yah. Lagian Ardi pake seragam putih, nanti kalo cemong?"
"Ho iya, yasudah," jawab Ayah. Ayah berbalik ke arah Ardi. "Hati-hati, kamu bawa nyawa anak saya. Jangan ngebut, sekolah nggak lari kemana-mana."
Ardi terkekeh mendengar ucapan Ayah dan meletakkan tangan kanan di pelipis sebagai gerakan hormat, kami pun menuju mobil Ardi dan siap untuk menyambut hari yang melelahkan di sekolah.
Ardi sedang menggumamkan lagu yang telah terputar di tape dan terhubung dengan handphone, saat aku kembali memikirkan mimpiku. Mobil Ardi berjalan pelan, karena memang sebenarnya masih ada banyak waktu sebelum kami masuk sekolah. Aku hanya bercanda pada Ayah tadi. Meskipun Ayah sudah sangat kenal dengan Ardi, namun Ardi selalu jadi sasaran kejahilan Ayah. Entah disuruh mengerjakan sesuatu yang sepele, hingga seperti tadi—membetulkan mesin mobil.
Ya, aku paham. Mungkin Ayah butuh seorang teman layaknya anak laki-laki? Oh ayolah, aku ini anak tunggal. Satu-satunya teman cowok yang dari dulu hingga sekarang masih berteman dekat denganku hanya Ardi, jadi wajar saja Ayah bertingkah begitu.
Tunggu.
Sejak kapan memikirkan mimpi buruk bisa berubah menjadi memikirkan Ayah dan Ardi? Aku memang sedang pusing sepertinya.
Suara kaca mobil yang membuka perlahan membuat fokusku berada pada Ardi. "Kenapa dibuka, sih?"
Ardi mengerucutkan bibir ke samping, mata hangatnya sibuk berkonsentrasi ke depan. "Udara pagi itu sehat, Bry. Aku yakin kamu juga tau itu," ia menoleh padaku, tak lama berbalik ke depan lagi. "Bisa menjernihkan pikiran yang semerawut kayak benang kusut, bikin lebih tenang."
God, hampir saja aku lupa kalau ini Ardi. Ardi yang selalu tepat membaca suasana dan pikiranku.
Aku menghela napas pelan. "Ngerti gue. Tanpa lo kasih tau," aku menyilangkan tangan. "Gue biasa aja, oke? Jadi tolong jangan ngomong apa-apa tentang gue yang menurut lo nggak baik-baik aja."
"Gue sih nggak mau," Ardi melirikku sekilas. Ia bergerak untuk mematikan tape. Kini mobil tak lagi mengalunkan lagu yang terputar tadi. Benar-benar hanya suara Ardi dan deruan mesin mobil. Ah, aku benci berada diposisi senyap begini, makin memperjelas kilasan mimpi dan suara-suaranya. "Bry, lo nggak cerdas untuk berbohong. So, just don't let that stupid minds controlled your whole head now."
"No, nothing." Balasku pelan, lebih terdengar seperti angin lalu.
"Bry, gue udah bilang—"
Aku membungkam Ardi dengan suara yang agaknya cukup tegas. "Gue nggak mau bahas ini dulu," Ardi tercengang menatapku, ia memilih untuk diam dan fokus mengemudi.
Sementara aku hanya meliriknya dari sudut mata.
-
Author's note
Hola!!!! Salma is back, fellas!
I know it's been so soooo long since I updated chapter 6. I apologize, please accept my apologize. This is chapter 7 part 1 (I made 2 parts in one chapter).
Hope you like it!Oke, I know it's too late, but ...
Happy Eid Mubarak and Minal Aidin Wal Faidzin. I'm sending my warmest regards to all of you. Hope you had the best quality time with your fam!Last but not least,
thanks for being kind and give your attention to this kinda "weird" story. I haven't edit this story again, so clearly you guys could find so many typo and error words (maybe).Xoxo, Salma
30 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy At The Corner Table
Short StoryDia memerhatikanku, dengan sepasang manik mata berwarna coklat gelap. Tepat di meja paling pojok ruangan. Entah sejak kapan, karena aku pun baru menyadari itu. Amazing cover by @oldmixtape Copyright©2016-All Rights Reserved