[4] Kantin sekolah

13 5 0
                                    

DAY 4

-

Seperti biasa, waktu istirahat aku habiskan di kantin bersama teman-temanku. Katanya ramai-ramai lebih enak. Mungkin maksud mereka lebih chaos.

Kami bertujuh menempati meja panjang. Entahlah, biasanya jam istirahat pertama seperti ini, meja-meja sudah penuh terisi. Mungkin berkat Ardi, Agil, Banu, dan Evon yang maju untuk menginvasi meja berisikan dua perempuan yang kelihatannya segan terhadap Ardi dan antek-anteknya.

"Kenapa kantin kita nggak jual...," Evon berhenti berucap untuk menyuap tahu batagornya, kepalanya mengangguk menikmati.

"Jual apa?" Balasku bersamaan dengan Libna.

Evon mengerling kami, kemudian memajukan tubuhnya sedikit sehingga aku dan Libna juga mendekat ke arah Evon. "Tahu bulat," bisiknya.

Kami mengembuskan napas keras-keras, menatap Evon seakan berkata serius-lo-nggak-penting-banget kepadanya.

"Tapi kenapa gue nggak suka tahu bulat? Itu artinya tahu bulat nggak enak," Ardi ikut nimbrung setelah ia dan Agil menggoda adik kelas yang lewat di samping mereka.

"Nggak usah ngomong lo. Lanjut aja gangguin dedek gemes," tukas Resha.

Agil dan Ardi saling berpandangan, kali ini Banu juga ikut-ikutan memandang Agil dan Ardi. "Aje gile bro," Agil menganggukkan kepala. "Lanjut, sob."

Sontak, ketiga laki-laki berstatus pengen-sendiri-dulu itu mengamati kerumunan perempuan yang sedang mengantri di depan gerobak siomay. Aku memutar bola mata jengah. Sok ganteng banget, ya meskipun memang ganteng sih. Tapi aku 'kan agak geli ngeliat cowok yang terlalu narsis begitu.

Aku kembali memusatkan perhatianku pada mangkuk bakso yang isinya tinggal sedikit, membuka tutup mangkuk yang berisi sambal dan menuangkan dua sendok sambal ke dalam mangkuk. Aku mengaduk dan menyuapkan kuah bakso ke mulutku.

Resha yang sedang melakukan hal yang sama sepertiku menepuk meja, seperti ingin memberitahu sesuatu tapi kuah bakso terlalu nikmat untuk tidak disuap ke dalam mulutnya. Jadi hanya suara gumaman tertahan seperti orang bisu yang didengungkan Resha.

"Kenapa sih, Res?" Tanyaku tidak sabaran. Lagian kuah baksoku sudah habis, Resha malah bikin aku pengen kuah bakso lagi.

Resha mengelap mulutnya. "Gue masih kepikiran sama yang di kafe kemaren."

Aku terdiam mendengarkan.

"Kafe?" Balas Libna. Ah, anak ini nggak tau kejadian kemarin. "Emang ada apa sama kafe, lo, dan kemaren?" Sambungnya.

Oke, detail sekali Libna.

Aku pun angkat suara. "Gini, Lib. Ceritanya panjang, gue juga males nyeritain panjang lebar," aku meringis dan dibalas Libna dengan ekspresi cemberut, aku melanjutkan. "Intinya ada orang marah-marah nggak jelas gitu di kafe, kita nggak ngerti marah kenapa. Pokoknya dia bikin kaget seisi kafe."

Libna mengangguk dan beralih ke layar ponsel sambil berbicara dengan Banu. Untung dia nggak bertanya macam-macam lagi, aku nggak mau bahas soal itu melulu. Karena buat apa bahas orang aneh? Bisa-bisa kita ikutan aneh, memang mau apa?

Aku mengerlingkan mata ke seluruh sisi kantin, siapa tau nemu sesuatu yang menarik.

Sepersekian detik setelahnya, mataku menangkap sosok yang sepertinya tidak asing bagiku. Aku hanya bisa melihatnya dari sisi samping, dan itu pun sudah lumayan jelas bagiku. Aku harus tanya Resha, feelingku berkata Resha juga tau orang ini.

Aku menepuk bahu Resha. Kutundukkan kepala, berjaga-jaga kalau orang itu balik melihatku. "Res,Res. Lo liat cowok yang di deket kulkas. Gue kayak pernah liat dia deh."

Otomatis Resha memutar kepala dan meneliti sosok yang kubilang tadi. Mata Resha membulat. "Anjir, By! Sumpah, kok bisa sih?"

"Apaan sih? Kenapa lo kaget?" Aku menatap Resha dan laki-laki itu bergantian. "Lo kenal?"

"Bukan kenal. Yang jelas cowok itu, cowok yang marah-marah di kafe kemaren," ungkap Resha cepat-cepat.

O...ke?

Kenapa bisa ketemu di sini lagi? Ya, aku tau kalau dia sekolah di sini juga. Tapi, kenapa harus orang aneh ini.

Aku dan Resha diam, sama-sama menatap orang aneh itu dengan alis bertaut.

Satu hal lagi.

Sepertinya aku pernah melihat laki-laki itu. Di tempat, dan waktu yang berbeda.

-

Author's note

Mungkin kalian bingung sama kategori cerita ini, yup, memang gue pilih short story buat kategori TBATCT.
Kenapa?
Karena meskipun per-babnya lumayan panjang dan alurnya nggak langsung the end kayak short story kebanyakan, tapi inti dari keseluruhannya short story guys.
Ditunggu aja endingnya ya, happy reading!

27 Januari 2017

The Boy At The Corner TableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang