[6] Stranger or Lover?

20 5 0
                                    

DAY 6

-

Aku melepas jaket jeans yang sedari tadi membalut tubuhku di perjalanan menuju tempat yang kusinggahi saat ini. Langit jingga keunguan di atas sana menaungi isi bumi yang basah setelah diguyur hujan menjadi latar pada dinding kaca sebelahku. Sungguh membuat diriku terpukau dengan keindahannya.

Pikiranku mungkin masih kacau dari kemarin, namun kedatangan hujan kemarin malam hingga beberapa menit sebelumnya seakan memberi ketenangan dan semangat baru untukku.Bahwa hal itu, bukan apa-apa bagiku. Benar kata Ardi, aku tidak perlu takut.

Ada dia yang selalu sedia untukku, teman-temanku, dan keluargaku. Perkataan Ardi masih terngiang di benakku.

Ardi tampak berpikir. "Stranger? Orang itu sering liatin lo diem-diem?"

"Gue nggak tau, Ar. Gue nggak ngerti. Setiap gue ke Nostalgic, gue selalu ngerasa diawasin seseorang. Pertama, orang di meja 12. Yang tadi, meja 5."

"Cuma dua kali 'kan? Udahlah, lo aman pasti."

"Enggak, tapi setiap hari. Gue nggak tau diawasin sama yang mana. Gue ngerasa aja. Kejadian aneh, dan itu berlanjut waktu gue di sekolah," ungkapku.

"Kenapa lo baru bilang, Bry?" Sela Ardi, tangannya mengacak rambut hitamnya. "Denger. Gue dari dulu selalu bilang, gue pengen lo cerita apapun ke gue."

Ardi memberi jeda. Tangan kirinya bertumpu pada sisi kursiku, sementara tangan kanannya memegang setir. "Masalah lo, curhatan lo, bahkan kejadian yang nggak lo ngerti. Lo nggak hidup sendiri, Bry. Nggak ada yang bisa hidup sendiri."

Mataku mengabur. Perlahan, air bening terasa membasahi pipiku. "Gue pikir itu cuma kebetulan, nggak akan terjadi berulang. Tapi ternyata berlanjut, Ar. Gue nggak mau cerita ke lo, karena...," suara parauku tercekat, kuusap air mata dan kembali bersuara. "Semakin gue mikirin, dan ngomongin ini, gue makin takut, Ar."

Ardi menggenggam tanganku. "Justru semakin lo tutupin, nggak akan bikin lo tenang. Rasa takut lo itu bakal selalu ngintai diri lo," Ardi berhenti berucap saat mendengar isak tangisku yang semakin dalam.

Di sela tangisku, aku berkata. "Tapi, gue takut, Ar. Dia siapa? Gue nggak kenal," Ardi menangkup telapak tanganku, membungkusnya dengan tangan hangatnya. Aku melanjutkan, "Gimana kalau ternyata dia psikopat?"

"Nggak. Lo nggak usah mikir gitu dulu," Ardi mengeratkan genggamannya, menciptakan rasa aman dan itu membuatku sedikit tenang. "Gue coba untuk selalu jagain lo, jadi bodyguard lo. Ada temen-temen yang lain juga 'kan? Siapa tau stranger itu cuma terpana sama lo?"

Aku berhenti menangis, mataku membulat. "Apa?" Ardi menampakkan senyum lebarnya, candaannya berhasil. "Lo apaan sih, Ar. Gue serius, lo bercanda mulu," aku melepaskan genggaman Ardi.

Ardi terkekeh dan mengusap puncak kepalaku. "Gue nggak mau liat lo kayak tadi. Mana Aubrey yang bawel? Masa gue cuma liat Aubrey yang parno dan melankolis abis. Udah, Bry. Lo aman sama gue," ucap Ardi.

Lihat? Betapa Tuhan menciptakan manusia tidak untuk hidup sendiri.

"Woy! Ngelamun aja lo," sentak perempuan yang ada di depanku. Ia menarik kursi dan duduk dengan tenang.

Oke, dia Resha omong-omong. Dan dia sukses membuyarkan lamunanku.

"Lama lo, woy!" Aku melihat arlojiku. "30 menit. Really, Res?"

Resha menjepit rambutnya. "So sorry, girl. Macet parah."

Aku memutar bola mata jengah. "Alasan. Yaudah pesen minum sana,"

Resha menunjukkan gelas mediumnya padaku. "Ini udah," aku mengangguk, ia menambahkan. "Eh, kapan-kapan nyoba coffee shop lain yuk. Gue dikasi tau Agil katanya di daerah rumahnya ada kafe lucu gitu."

Aku menyeruput green tea latte, kemudian menjawab. "Boleh. Tapi gue yakin nggak akan bisa nandingin Nostalgic."

Resha menggerakkan kepalanya. "Ya, nggak tau deh. Belum nyoba 'kan?"

Aku mengiyakan sebagai balasan. Resha mulai berceloteh tentang teman lamanya yang kembali tinggal di sebelah rumahnya. Bagaimana senangnya Resha dan mengapa teman lamanya meninggalkan Resha dulu.

Karena teman Resha laki-laki, jadi aku terus menggoda Resha. Mengatakan bahwa sebentar lagi pasti timbul benih-benih cinta antara Resha dan temannya itu. Mewanti-wanti Resha kalau itu semua bisa terjadi, hanya menunggu waktunya saja.

Resha menunduk, menutup mukanya yang sudah seperti kepiting rebus. "Jangan gitu, By. Nggak akan ada 'kita' antara gue sama dia, pokoknya sekali enggak tetep enggak," rengek Resha.

Aku tertawa seraya mengedikkan bahu. "Yah, gue 'kan cuma bilang 'bisa jadi'. Gue udah ngasi tau lo, lho. Selebihnya sih gue serahkan ke lo."

Resha menekan kedua pipinya, berusaha meredam blushing di kedua pipinya sambil mengalihkan pandangan mengitari kafe.

Kontan, Resha terdiam memandang ke samping. Matanya sedikit menyipit. Ia berdeham. "Aubrey," ucapnya dengan cadel.

Aku mendongak ke arah Resha. "Hm?"

Resha mengerling pada sesuatu yang menyita perhatiannya itu. "Lo mau tau sesuatu?"

Aku mengikuti pandangan Resha, namun Resha cepat-cepat menghentikanku. "Jangan diliat dulu," saat kujawab 'kenapa', Resha langsung menambahkan. "Gue mau ngasi tau dulu ke lo, tapi janji jangan diliat langsung orangnya. Ada cowok liatin lo gitu deh, kayaknya dari tadi. Ugh, tampangnya..., so cool!"

"Resha. Kalau gue nggak boleh liat, gimana cara gue tau kalo dia ganteng?" Bisikku gemas.

"Lah, iya juga ya. Yaudah lo boleh liat, dikit aja, By."

Aku sontak menolehkan kepala ke arah yang Resha maksud.

Di meja yang agak jauh dariku, laki-laki dengan kemeja biru memandang ke arah meja kami. Tepatnya, dia melihatku. Satu tangannya dijadikan tumpuan dagu, dan menutupi seluruh bagian hidung hingga bibir.

Yang bisa kulihat hanya setengah dari wajahnya.

Dia memandangku dengan sepasang manik mata berwarna coklat gelap. Meskipun dari kejauhan, mata indahnya terlihat jelas olehku.

"Res, gue rasa dia stranger," ucapku kemudian.

Resha menggeleng cepat. "Nggak mungkin stranger. Tatapannya bukan kayak orang jahat," Resha kembali melirik orang itu. "By, sumpah ganteng. Tipe-tipe cogan gue."

"Enggak. Dia stranger, Res. Terus ngapain dia liatin gue kayak gitu, serem sumpah."

"Baru ngeliat lo kali. Menurut gue bukan stranger," Resha mengedikkan bahu.

"Terus?" Tanyaku.

"Pengagum lo?" Resha tampak berpikir. "Mungkin aja dia attracted sama lo pada pandangan pertama."

"Maksudnya, Res? Geli banget kata-kata lo," aku bergidik.

Pengangum? Mana mungkin.

Lagipula, aku tidak percaya dengan 'love at the first sight' seperti kata Resha barusan. Aku hanya melihat laki-laki itu, dan ternyata dia memerhatikanku. Entah sejak kapan. Kalau bukan karena Resha yang memberitahu, aku pasti tidak menyadarinya.

Jadi, stranger or lover?

-

Author's note

Hai! Gue minta maaf sebesar-besarnya karena nganggurin short story ini cukup lama. Gue lagi ada di fase-fase "suntuk untuk persiapan ujian and stuffs" :')
Jadi, maaf banget kalo ini bener-bener ngaret updatenya. Ini aja nyempetin nyuri waktu di sela-sela gue belajar.
Terakhir, semoga suka! :)
Kira-kira masih ada beberapa part lagi untuk sampai ending, so wait for it!

15 Maret 2017

The Boy At The Corner TableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang