[9] Untuk yang kedua kalinya

10 2 0
                                    

DAY 8

-

Tubuhku seakan terserap ke dalam lumpur hisap. Terus terperosok ke dalam, terus masuk seakan diriku diambil paksa dan tak bisa berkutik. Sekejap, kubangan lumpur hisap berubah menjadi tanah lapang yang dihiasi dengan beberapa pohon kamboja. Semua yang kulihat terekam jelas di kedua mataku.

Semilir angin menerbangkan daun-daun kering dari pohon besar yang satu-satunya terletak di tengah luasnya tanah lapang ini. Pohon yang kokoh, seakan menjelaskan keagungannya menaungi setiap mahluk rapuh yang berpasrah diri. Sesaat, aku takjub akan keindahan tempat ini. Rasanya, aku ingin selalu berada di sini, dengan segala ketenangan yang tempat ini suguhkan. Aku terbuai, untuk tinggal lebih lama di sini.

Angin yang semula membuai kulit pucatku mendadak bertiup kencang, dengung angin yang bergesekan dengan pohon-pohon besar menciptakan melodi lagu pengantar tidur. Aku berjalan ke tengah tanah lapang, hendak menghampiri hamparan ilalang di tepi kiriku. Sepersekian detik berikutnya, sesak yang menyakitkan menyergap dada. Sempat terhenti, kucoba untuk mengatur napas. Seakan ada yang ingin memerintahkanku untuk berhenti, cukup sampai di situ. Namun hati kecilku yang lain membangkitkan rasa penasaran dan suatu keharusan untuk menghampiri tempat yang menarik perhatianku.

Setelah mendapat sedikit ketenangan, kakiku kembali menapaki rerumputan menuju kumpulan ilalang yang menari-nari diterpa angin.

Cantik sekali.

Tanganku meraih ujung tanaman ilalang, kembali diriku mengitarinya sambil mendaratkan jari-jari untuk membelai setiap ujung ilalang yang kusentuh. Cukup lama diriku berkutat dengan suasana ini, kulihat seekor burung hitam pekat terbang di langit yang berwarna keabuan. Tak lama, sekumpulan burung hitam yang sejenis dalam jumlah besar terbang mengikuti. Tubuhku terjatuh dan mendarat di rerumputan, terlentang menghadap langit.

Setetes air mata membasahi pipi yang langsung kuhapus dengan gerakan kasar. Aneh, selalu aneh. Seperti ada yang mengendalikanku untuk menangis, marah, kecewa, takut, dan gelisah di saat sisi lain dari diriku ingin merasakan kebahagiaan dari tempat indah ini.

"Sudah cukup! Kau akan tau akibatnya. Tak usah berlama-lama, semesta tidak mengizinkan kau melupakan kesalahan terbesarmu."

Suara halus namun bergema mengusik pendengaranku. Suara barusan, terus-menerus berdengung dan semakin lama memekakkan telinga. Aku berteriak kencang, memohon agar suara apapun itu berhenti segera, tangisanku pecah. Saat suara itu semakin dalam merasuki pikiran, sekumpulan burung hitam terbang mendekat menghampiri tubuh yang kini sedang terlentang. Sepasang mata ini dengan jelas melihat sekumpulan benda hitam pekat yang dengan ganasnya akan menghantam tubuh tak berguna.

Ya, katakan saja tidak berguna. Di setiap detik yang semakin genting dan mendekati entah hal buruk apapun ini, aku dan jiwaku tak bisa berkutik. Mana saraf sensorik yang menghasilkan gerakan refleks? Bahkan sejengkal pun bagian tubuhku tak menunjukkan respon untuk segera menjauh dan menghalau serangan benda hitam pekat itu. Tak ada teriakan lantang, apalagi tangis kesakitan. Satu-satunya yang terdengar hanya ratapan hati yang meraung.

Tepat beberapa senti sebelum sekumpulan burung yang terlihat marah dan siap mencabik menubruk satu persatu tubuh lemah ini, terdengar suara selembut sutra memenuhi entah alam apa yang saat ini kutempati.

"Tak akan bisa keluar, kau tertahan. Sebutkan apa kesalahanmu pada mereka, kau akan kubawa kembali."

Dan, kurasa diri ini telah habis tak bersisa.

-

Perempuan berparas persis seperti diriku menangis terisak di samping ranjang penopang gadis pucat dilengkapi berbagai macam selang yang terpasang pada beberapa bagian di tubuhnya. Itu Bunda, dan aku yang terbaring lemah.

Mengapa aku bisa mendeskripsikannya dengan detail yang sangat jelas? Karena aku sendiri yang melihatnya, dengan mata yang tak pernah lepas dari Bunda dan tubuhku. Apakah aku koma kemudian ruhku adalah diriku saat ini? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Entahlah, aku benar-benar lelah.

Meskipun yang terlihat adalah tubuh lemahku yang terbaring bagaikan sedang beristirahat sejenak dari rutinitas duniawi, namun aku tau aku sedang tidak beristirahat di sana. Ada yang harus aku perjuangkan, ada banyak hal yang terjadi dan aku pantas menyesalinya. Sulit untuk menerima apa yang terjadi, jujur saja. Jika aku dipaksa untuk merasakannya lagi, tolong jangan. Jangan biarkan aku mengalaminya lagi.

Lelaki tegap seumuranku terlihat menyeruak masuk dari pintu yang setengah terbuka. Vas kaca berisi bunga matahari ada di genggamannya. Tepat berdiri di depan ranjangku, ia tersenyum tipis. "Hai, Bry."

Setelah tersenyum ke arah Bunda, lelaki ini berdiri menghampiri Bunda dan mengucap salam serta beberapa kata yang tidak bisa kudengar. Mereka kemudian terlihat saling menguatkan, meskipun seperbagian diri menolak untuk tegar. Tak lama Bunda pamit dan berpesan agar lelaki ini menjagaku, seperti biasanya.

Sudah bisa ditebak, ia Ardi. Teman, sahabat, kakak, dan persis seperti kata Bunda yaitu Ardi yang sekaligus menjadi penjagaku selama ini. Sama sekali tak pernah kusadari. Raut wajahnya sedih, namun matanya jernih tak seperti orang yang sedang keruh dalam kesedihan.

"Bry," panggilnya. "Lo tau? Gue hancur."

Aku membeku, kurasa pertahananku setelah ini akan goyah. Sekuat tenaga kubendung air mata yang semakin nakal ingin segera menyapu pipiku.

"Lo ini apa sih? Lo orang terbebal yang pernah gue kenal, Bry. Harus berapa kali gue ingetin lo, lewat telfon bahkan chat kalo please tunggu gue dan kita akan pulang bareng," ia menghela napas. "Maaf. Maaf kalo semisal omongan gue ini nyakitin lo. Gue tau lo denger gue karena lo sama kayak gue, gue nggak mau anggap lo koma kayak yang suster bilang. Bry, gue tau lo marah banget sama gue. Seandainya hari itu lo dengerin gue, beberapa menit kemudian lo pasti udah ada di kamar lo dan esoknya lo kembali ceria. Dan gue? Gue tenang karena akhirnya kita baikan setelah omongin semua baik-baik di mobil."

"Gue yang salah," bisikku namun percuma saja, Ardi tak mungkin mendengar.

"Lo udah pernah bikin gue secemas ini. Untuk yang kedua kalinya, gue sangat marah dan kecewa. Lo lagi-lagi kayak gini, Bry."

Dengar? Ini yang kukatakan bahwa apa yang terjadi belakangan ini amat sangat tak asing bagiku.

-

Author's note

Kembali hanya untuk berterimakasih buat kalian yang emang "stay" sangat sabar untuk cerita ini. Mengapresiasi para pembaca yang, yah, bahkan aku nggak tau kalian gimana bisa menemukan cerita ini dan dengan rendah hati membacanya.
You're all precious, thankyou.
Doakan aku semoga bisa bener-bener menyelesaikan cerita terbengkalai ini.

- with love,
Salma.

17 July 2018

The Boy At The Corner TableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang