DAY 5
-
Aku keluar dari ruang perpustakaan yang hanya berisi diriku dan penjaga perpustakaan. Kalau saja tidak ada kepentingan, aku tidak mungkin nekat kesini sendirian.
Tau kenapa?
Terserah mau percaya atau tidak, tapi perpustakaan dan koridor perpustakaan sekolahku ditetapkan sebagai spot angker di sekolah ini.
Serius. Aku nggak bohong.
Saat melewati belokan, aku mendengar suara langkah kaki lebar-lebar milik seseorang.
Tunggu.
Iya kalau itu beneran orang. Kalau ternyata? Ugh, nggak perlu dilanjutin juga pasti ngerti.
Aku menoleh cepat ke belakang.
Kosong. Koridor di belakangku lengang tak ada siapa pun selain aku.
Dengan bibir komat-kamit merapalkan doa, aku mempercepat langkah kakiku ke area parkir.
Di area parkir, mobil hitam metalik yang kukenali sebagai mobil Ardi masih terparkir bersama beberapa mobil lainnya.
Aku buru-buru membuka pintu mobil. Tanpa sadar tulang keringku terantuk pintu mobil dengan keras, aku langsung duduk di kursi penumpang dan menutup pintu dengan tergesa hingga menimbulkan bunyi berisik.
Ardi yang tadi memejamkan mata kini menatapku lamat-lamat. "Lo... kenapa?" Tanya Ardi heran, wajahnya menunjukkan keterkejutan.
Aku berusaha mengatur napasku yang tersenggal. Tanganku mengambil botol air mineral di dalam tas dan meneguknya.
"Bry," panggil Ardi saat melihat diriku yang panik, aku tetap tak memedulikan laki-laki disampingku. "Aubrey," panggil Ardi lagi.
Aku menoleh. "Iya, apa?" Aku berdeham kemudian menunduk saat merasakan bagian dari kakiku yang terasa sakit.
Ardi ikut menunduk, melihat tulang keringku yang memar dan mengeluarkan darah. "Astaga, Bry. Lo ngapain sih?" Tangan Ardi menyentuh sekitar lukaku, ia menghela napas. "Ini nih, ceroboh ya hasilnya gini."
"Nggak usah nolongin deh kalo ngomel-ngomel," sungutku. Ardi mencebik, ia merogoh saku di balik tempat duduknya dan mengeluarkan kotak bening. Aku buru-buru menghentikan aksi Ardi selanjutnya. "Nggak, nggak. Lo nggak usah ngobatin gue. Lo tuh rusuh orangnya, rese, kasar. Yang ada luka gue tambah sakit."
"Bisa diem nggak?" Respon Ardi datar.
Aku langsung menutup mulutku, kalau sudah begini keputusan Ardi tidak bisa diganggu gugat. Dia serius kali ini.
Aku memilih diam dan menatap Ardi yang bersandar di kursinya sambil menghadapku. "Boleh bawel, tapi bukan untuk sekarang," tandasnya, masih dengan nada yang datar.
Aku mengangguk, memilih untuk menurut karena kakiku makin terasa nyeri. "Iya, maaf."
Ardi mengatur kursiku agar lebih mundur. "Siniin kakinya," Ia mengulurkan tangan satunya, dan yang satu lagi mengambil minyak oles serta plester. Aku meluruskan kakiku ke kursinya dan Ardi mulai mengobati dengan cekatan. "Ada apa, Brianna? Lo kenapa tadi?" Tanya Ardi pelan.
"Gue habis ketemu setan."
Ardi mengangkat sebelah alisnya. "Sembarangan. Dicari beneran mampus lo," Ardi terkekeh melihat wajahku yang memucat.
"Gue serius!" Aku melotot. Ardi makin terbahak dan menggelengkan kepalanya.
Setelah selesai mengobati lukaku, Ardi memasang plester. Terakhir, ia menekan lukaku sangat keras. Aku memekik. "Woy, sakit bego!"
"Biar cepet sembuh tau," Ardi menaik turunkan alisnya.
Aku menabok Ardi bertubi-tubi seraya mengerang. Sudah kubilang kalau Ardi itu rusuh, rese, dan kasar jangan lupa. Aku mendecak dan kembali pada posisi duduk, memalingkan wajah ke arah kiri.
Ardi berdeham. "Cie ngambek. Nggak seru, ah."
Aku tetap diam, menautkan alisku.
"Okay, okay. Nostalgic for a mug of hot chocolate?" Rayu Ardi seraya menghidupkan mesin mobil.
Senyum merekah di bibirku, aku menoleh. "Let's go."
"It's easy to cheer you up," cengir Ardi yang kubalas dengan kekehan.
Ardi mengemudikan mobil keluar dari pelataran parkir menuju Nostalgic yang berjarak 200 meter dari sekolah.
Sesampai Nostalgic, aku dan Ardi memasuki kafe dengan berjalan beriringan. Karena kafe cukup ramai, kuputuskan untuk take away pesanan. Ardi setuju dan mulai memesan.
"Oh, hai Ardi," sapa Cindy teman Yogi. Ia salah satu barista yang Ardi kenal selain Yogi. Cindy beralih ke Aubrey. "Halo, Aubrey. Jadi, mau pesan apa?" Ucapnya ramah.
"Hai, Cin. Hot chocolate dua, take away ya."
"Siap. Ditunggu Ardi, Aubrey."
Aku dan Ardi mengangguk kemudian duduk di waiting lounge. Ardi menyandarkan tubuhnya ke belakang sambil memerhatikan isi kafe. Setelah mengobrol sedikit denganku, ia memejamkan mata sejenak.
Aku merasa ada yang memerhatikanku di tengah keramaian kafe ini, saat mataku mencoba menyusuri isi kafe, pandanganku menangkap seseorang di meja nomor 5.
Orang itu... memerhatikanku.
Awalnya aku mengacuhkan dan kembali memusatkan perhatian kepada Ardi. Namun saat aku kembali menengok ke meja itu, sang pemilik meja masih memerhatikanku intens.
Tentu saja aku risih. Apa sih maksud laki-laki itu? Oke, aku tau dia punya mata dan bebas untuk memandang siapa saja. Tapi tidak untuk se-intens itu, kepadaku pula.
Iseng, aku menunjukkan raut sinisku yang kusangka akan berhasil menyadarkan laki-laki yang memerhatikanku itu. Jauh di luar dugaanku, laki-laki itu makin menajamkan tatapannya.
Dehaman di sebelahku membuatku menoleh, ternyata Ardi terjaga. Ia menangkap gelagat anehku. "Bry, kenapa lagi?"
Aku menggigit bibir. "Ar, ayo pulang."
Tanpa bertanya lagi, Ardi mengambil pesanan di meja kasir. Sekali lagi kutolehkan kepala ke arah laki-laki aneh itu, dan ya, dia masih memerhatikanku.
Ardi melihat pergerakanku, ia melayangkan tatapan protektif untukku terhadap laki-laki di meja itu. Ardi merangkul bahuku dan menuntunku ke luar dari kafe, sesekali melihat ke belakang dengan tatapan tak suka kepada laki-laki tadi.
Ardi menutup pintu mobil dan menghadapku. "Dia siapa, Bry?"
Aku mengembuskan napas lelah. "Gue nggak tau, Ar."
"Sebenernya, ada apa?" Ucapan Ardi melembut, seakan menenangkanku.
Ada apa. Terlalu banyak 'ada apa' yang hari ini Ardi ucapkan. Aku tidak mengerti, apa maksud semua ini. Kenapa laki-laki itu memerhatikanku seperti tadi. Aku pun tidak tau.
"Bry, gue tau lo ada apa-apa. Seenggaknya, lo kasih tau gue," kata Ardi.
Benar. Aku tidak bisa diam menyembunyikan keanehan yang aku alami akhir-akhir ini.
Aku memejamkan mata. "Gue ngerasa ada stranger di sekitar gue. Aneh dan gue takut, Ar."
-
Author's note
Ardi ucul banget nggak sih? Atau lebih tepatnya, kira-kira Ardi beneran ada di kehidupan nyata?
He's so gemay!
11 Februari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy At The Corner Table
Short StoryDia memerhatikanku, dengan sepasang manik mata berwarna coklat gelap. Tepat di meja paling pojok ruangan. Entah sejak kapan, karena aku pun baru menyadari itu. Amazing cover by @oldmixtape Copyright©2016-All Rights Reserved