End

25 1 0
                                    

Siapa gadis itu?

Ini hari kelima aku di sini. Aku selalu melihat gadis itu duduk sendirian di bangku pinggir danau. Tidak tahu kapan ia datang, dan kapan ia pergi. Danau itu terkenal, namun ia duduk sendirian di sana, seakan-akan menunggu sesuatu.

Reschensee, danau mengagumkan itu hampir membeku. Tengahnya terdapat menara gereja yang dapat dijangkau ketika danau telah benar-benar membeku.

Aku tidak suka salju, namun aku menyukai danau itu dan gadis misterius itu.

***

Roti hangat, teh hangat, ruangan hangat. Aroma khas roti benar-benar menenangkan. Aku betah tinggal di sini, namun lama-lama aku bisa menyulitkan paman. Maka dari itu, aku menolak tinggal dengan paman.

Aku di sini hanya berlibur. Danau Reschensee di seberang toko roti paman benar-benar indah. Dilihat berkali-kali pun tak akan bosan aku menikmatinya.

"Habiskan sarapanmu!" seru paman menghampiriku. Aku mengangguk cepat. Juga cepat-cepat menghabiskan roti dan teh.

Aku melihat jam, ah, sudah waktunya. Aku berjalan menuju pintu masuk. Menggantung papan bertuliskan open, membuka tirai, mengelap jendela, mengelap meja, menyapu dan menyingkirkan tumpukan salju di jendela dan halaman.

Aku melihatnya lagi. Gadis itu, padahal tidak ada apa-apa di depannya, namun ia menaikkan tangannya seakan-akan menggapai sesuatu. Ini baru pukul 5 pagi. Dan dia telah tiba di sana. Kenapa dia duduk di sana sepagi ini? Bahkan sebelum pukul 5 dia telah duduk manis.

"Paman, ada apa dengan gadis itu?"

"Ada banyak orang berkunjung ke danau itu. Paman tidak pernah perhatikan orang-orang."

Aku mengangguk mengerti. Aku masih menatap tubuhnya. Aku jadi mengingat sesuatu. Senyum seorang gadis, dalam mimpiku.

"Mikir apa?" tanya paman mengagetkanku.

"Ah, tidak, tidak," jawabku sambil tertawa kecil.

"Jangan terlalu dipikirkan."

Aku hanya mengangguk. Tapi, aku merasa ada yang menganjal.

***

Sepertinya hujan salju. Aku bergegas menyelesaikan pekerjaan pagiku selama di sini. Benar saja, salju turun. Pandanganku tertuju pada seseorang yang duduk di pinggir danau. Aku bergerak ke kamarku, lalu turun. Berlari menuju gadis itu.

"Maaf nona, Anda tidak kedinginan?" tanyaku mengawali pembicaraan canggung.

Aku menghalangi salju yang turun ke kepalanya dengan payung. Dia tetap diam. Matanya tidak menatapku dan hanya tertuju pada menara lonceng di tengah danau Reschecsee. Apa dia tidak menerti bahasaku? Yah, ini di Italia, sedangkan aku berbahasa Inggris.

"Aku kedinginan," jawabnya datar. Ya, dia mengerti bahasaku.

"Ini topi Mira, adikku, pakai saja. Sebelum itu, bersihkan rambutmu yang tertutup salju," kataku menyodorkan topi yang juga dapat menutupi telinga.

Matanya tetap tidak menatapku. Mungkin dia malu. Tangannya terbuka, namun masih dipangkuannya. Kenapa dia tetap tidak mengambil sendiri? Aku meletakkan topi di tangannya. Ia memakai topi kuning itu perlahan.

"Mau duduk?" tanyanya mengeser tubuhnya.

"Ah, tidak. Bagian sana sudah penuh salju."

"Oh?" Dia bingung. "Akan kubersihkan," tambahnya.

"Tidak, tidak. Kau tidak memakai sarung tangan. Aku saja," jawabku cepat.

Gadis ini benar-benar aneh. Tidak memakai topi, sarung tangan, dan penutup telinga. Udara musim salju selalu dingin, tapi dia begitu santainya melupakan hal itu.

I Hope We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang