Pindah.
Satu kata yang mudah di ucapkan namun sulit di lakukan. Pindah apapun itu, gue yakin bahwa pindah itu emang susah. Pindah hati, pindah sekolah, bahkan pindah rumah pun susah, lo harus ribet-ribet ngurusin barang-barang lo untuk dipindahin ke rumah yang baru. Jadi gue anggap, kalau pindah tuh emang susah.
Hampir semua orang yang sedang dalam masalah, akan berfikiran untuk pindah. Sama kayak gue. Andaikan pindah itu gampang, akan dengan senang hati gue pindah. Kembali menjadi diri gue yang sesungguhnya.
Jujur, gue gak suka sama gue yang sekarang, gue lebih suka sama gue yang dulu. Sejak kejadian itu, gue belum menemukan diri gue yang sebenarnya, gue belum bisa menemukan titik nyaman gue. Gaenak banget rasanya.
Semua orang disini beranggapan bahwa gue adalah pangeran tanpa rasa. Dan itu bener, gue buta rasa. Tapi jangan salahin gue, karna gue gapernah minta mereka buat suka sama gue, image gue sejak SMA emang udah jelek, siapapun tau itu. Cowo nakal, yang cuma tau caranya bikin masalah dan selalu cuek sama cewe. Mereka bahkan udah tau kalau gue gapernah bersikap manis sama cewe. So, bukan salah gue dong kalau mereka tersakiti? Karna sesungguhnya, yang bikin mereka tersakiti adalah diri mereka sendiri.
"Kamu tuh sebenarnya pintar, Rafa. Kamu salah satu murid terbaik di sekolah ini. Tapi kenapa semua prestasi kamu itu tidak kamu barengi dengan akhlak yang baik? Berubah, lah, Nak."
Untuk yang kesekian kalinya gue mendengar kalimat itu. Di tempat yang sama, dan berasal dari mulut yang sama. Biasa, guru BK. Yap, sekarang gue lagi di ruang BK, di ceramahin sama guru BK gue yang katanya memiliki hati yang sangat baik. Well, gue akui emang baik. Makanya kadang gue kasian ngeliat dia nyeramahin gue.
Seperti biasa, gue diam. Gaada pembelaan yang bisa gue lontarkan. Karna bukti sudah jelas terlihat di wajah gue. Dan penjelasan apapun itu, mereka gaakan percaya gitu aja. Jadi, diam memanglah pilihan yang terbaik.
Bu Rita menghela nafasnya. "Kurang dari satu semester lagi kamu akan menempati kelas 12. Semua prestasi kamu tidak akan berguna kalau tidak dibarengi dengan akhlak yang baik. Sekarang kamu ke UKS. Obati luka di wajahmu, lalu kembali ke kelas. Pulang sekolah nanti, bersihkan gudang belakang."
Gue bangkit, bergerak menyalimi tangan Bu Rita, dan melangkah keluar. Langkah gue mengarah pada suatu ruangan di ujung sekolah ini. Ruangan yang memang sengaja gue beri hak milik. Udah pernah denger kan? Segala sesuatu bisa dibeli dengan uang. Nyatanya, sampai sekarang, gue gak di drop-out dari sekolah ini. Walaupun gue sering masuk ruang BK, tapi prestasi sekaligus duit orangtua gue selalu jadi pertimbangan. Jadi gue simpulkan, bahwa uang bisa membuat kita menguasai segalanya. Termasuk ruangan ini. Ruangan yang kami sebut dengan ruang khusus.
Ruangan ini tidak besar, isinya pun tidak banyak, hanya berisi sebuah sofa besar dan peralatan billiard yang merupakan hasil pengumpulan uang kami berempat. Setidaknya, ruangan ini menjadi ruangan ternyaman bagi kami di sekolah.
"Berantem sama siapa lagi lu?" Devlin memulai pembicaraan.
"Andrew," gue merebahkan tubuh gua ke atas sofa, kemudian memejamkan mata.
"Gue tau lo bakal kesini," ujar sebuah suara yang sudah familiar di telinga gue bersamaan dengan mendaratnya sebuah tas kecil di atas badan gue. Revan. Dia itu ketua PMR, makanya gak heran kalau hanya dia yang akan mengambil obat-obat-an di UKS ketika mendengar kabar kalau gue berantem. Teman yang baik.
Gue bangkit duduk. Membuka tas kecil yang di lemparkan Revan tadi. Mulai mengobati diri sendiri.
"Dia bikin masalah apa lagi sama lo?" Alex mulai bersuara, masih tetap dengan tangannya yang memegang stik billiard dan mata yang fokus untuk menembak salah satu bola.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAFANADA
Novela JuvenilTerpisah karena sebuah alasan membuat kedua sahabat kecil ini menjauh, menjauh bagaikan manusia yang tidak mengenal satu sama lain. Namun jika takdir sudah berbicara, maka sekuat apapun sebuah alasan untuk menjauh, akan ada alasan yang jauh lebih ku...