2. Nada's Point of View

11 7 1
                                    

Aku menapakkan kakiku di bandara Soekarno-Hatta dengan senyum yang terus mengembang di bibirku. Jantungku berdebar, membayangkan apa yang selanjutnya terjadi. Berharap seseorang yang ingin ku temui mengharapkan kedatanganku.

Sudah hampir 2 tahun aku meninggalkan tanah airku, meninggalkan negara dimana aku di lahirkan. Merupakan keputusan yang berat untuk dapat kembali ke Indonesia. Aku harus rela mengorbankan sekolahku disana, serta kedua orangtua ku yang masih harus menetap disana.

Bukan, aku kembali ke Indonesia bukan hanya karena-nya. Ia memang alasan utama ku. Namun, banyak pertimbangan yang telah ku diskusikan sehingga terlahirlah keputusan ini.

Aku tersenyum melihat sosok laki-laki yang sejak dulu telah menjadi pelindungku. Dengan tanganku yang masih menarik koper, langkahku mulai melebar, berlari kecil menghampirinya.

"Kangen banget, Ka," ujarku ketika berada di pelukannya.

"Gue juga," ia membalas pelukanku sekilas sebelum ia kembali pada kebiasaannya. Mengacak rambutku. "Pulang sekarang?"

Aku mengangguk semangat. Tak sabar bertemu dengan orangtua kedua ku. Om Darman dan Tante Lila. Om Darman merupakan kakak dari ayahku. Dan yang baru saja ku peluk adalah Naufal, kakak sepupuku. Dan mulai sekarang, aku akan tinggal dengan mereka, sampai urusan pekerjaan orangtua ku disana selesai.

Aku mengarahkan pandanganku keluar kaca mobil. Langit yang menuju gelap benar-benar mendukung suasana hati. Lagi-lagi aku tersenyum akan khayalanku sendiri. Kembali menebak apa yang akan terjadi besok. Bayanganku hanya dipenuhi oleh sosoknya, wajah serta gerak-geriknya masih terekam jelas di benakku. Rasanya sangat tidak sabar untuk melihatnya lagi.

"Lo serius mau di SMA Antariksa?" Pertanyaan Kak Naufal hanya kujawab dengan anggukan pasti.

"Emang lo yakin dia beneran sekolah disitu? Tuh sekolah kan susah masuknya. Gue agak kurang yakin kalau dia lolos tes masuknya."

"Enak aja. Rafa pinter tau, Kak," ucapku membela.

"Ya kirain, abis kan dulu kelakuan dia kayak anak kecil. Main mulu kerjaannya."

Senyumku semakin mengembang. Kilatan kisah ku dengan Rafa kembali melintas di benakku. Apa yang di katakan Kak Naufal memang benar. Tingkahnya sama seperti anak kecil, malah terkadang, aku sering menyebutnya bayi besar.

Namun, otak yang ia miliki, tidak sebanding dengan kelakuannya. Jika anak bayi tidak tahu apa-apa, Rafa malah memiliki segudang ilmu, yang tidak ku ketahui ia dapatkan darimana. Anugrah terbesar yang Tuhan berikan untuknya, ia mudah memahami bahkan mengingat hanya dengan mendengarkan guru berbicara. Makanya, gak heran kalau dia ulangan jarang belajar. Paling cuma butuh review dikit, udah langsung dapat nilai sempurna.

Dan bukan kejutan besar bagiku ketika mendengar informasi bahwa Rafa berhasil masuk ke SMA Antariksa. Sekolah dengan kumpulan anak-anak orang pintar. Fasilitas disana sangat lengkap dalam mendukung pembelajaran. Makanya, banyak anak yang ingin masuk ke sekolah tersebut.

Ntah kebetulan dari mana, saluran radio yang sedaritadi melantunkan lagu-lagu ke dalam mobil Kak Naufal memutarkan lagu officially missing you. Lagu yang sangat pas untuk menggambarkan kondisi hatiku selama 2 tahun belakangan ini.

Aku rindu. Ya, aku sangat rindu, sangat-sangat merindukannya. Aku merindukan kisah bahagia dan sulit kami. Merindukan saat-saat aku bercanda dengannya. Tapi komunikasi kami putus begitu saja ketika aku memutuskan untuk ikut kedua orangtua ku ke Jerman.

Aku tau, ketika aku memutuskan untuk pergi tanpa mengabarinya, merupakan keputusan yang akan ku sesali nantinya. Tapi saat itu, aku merasa tidak mempunyai pilihan lain, tidak untuk mengabari kepergianku disaat ia sedang terpuruk. Aku tidak ingin melihatnya kecewa lagi. Saat itulah aku memutuskan untuk pergi tanpa memberinya informasi sedikitpun. Bahkan aku menghilang dari dunia komunikasi, bukan untuk selamanya, hanya untuk beberapa saat.

RAFANADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang