"Mulai saat ini aku nggak akan percaya siapapun lagi! Semuanya hanyalah pembohong!" teriakku sesaat setelah kejadian itu. Kemudian aku jatuh tersungkur sambil menutupi wajahku. Tanpa sadar air mataku mulai menetes.
"Percaya" sebuah kata yang mungkin terdengar mudah untuk diungkapkan tetapi sulit dilakukan ketika diri sendiri menaruh harapan kepada orang lain. Itulah yang terjadi denganku,seorang laki-laki biasa yang berumur 16 tahun. Hal itu yang berada dipikiranku sekarang. Banyak orang yang berpikir bahwa kepercayaan itu mudah didapatkan, cukup dengan melakukan berbagai perbuatan baik atau berjanji kepada seseorang, tetapi bagiku realitanya tak seperti itu. Aku sudah berusaha untuk melakukannya tapi akhirnya aku pun "Terjatuh" untuk pertama kalinya. Mulai saat ini juga aku akan menjaga jarak dengan siapapun yang ingin dekat denganku agar kejadian itu tak terulang lagi pada diriku, seperti ada sebuah dinding es tebal yang kubuat untuk orang lain.
Sore hari disertai hujan rintik-rintik dan seperti biasanya setelah selesai dengan kegiatanku di sekolah, aku pun langsung pulang dan menuju kamar untuk merebahkan tubuhku. Setengah sadar aku hampir memejamkan mata namun seketika handphoneku berdering. Dengan malas aku melihatnya dan disana terlihat sebuah pesan singkat dari nomor yang tak ku kenal. Ternyata isi pesan tersebut hanyalah kosong.
Sambil mendengus kesal aku berkata "Siapa sih yang ngirim pesan nggak jelas ini! Kurang kerjaan!" dan kemudian aku meletakkannya kembali.
Hari itu aku lelah sekali hingga tanpa sadar sedikit demi sedikit mataku mulai terpejam. Aku mulai bermimpi tentang kejadian ketika masih SMP yang sampai saat ini masih membekas di ingatanku. Kejadian yang membuatku tak ingin mengenal lagi apa arti "Percaya" terhadap seseorang.
Cahaya di langit mulai meredup dan adzan maghrib pun mulai terdengar ketika aku terbangun dengan nafas tak beraturan karena mimpi yang masih membekas samar-samar di ingatanku,aku pun segera menutupi wajahku dengan tanganku sampai aku merasa sedikit tenang. Kemudian aku segera pergi mandi dan menjalankan ibadah sholat maghrib sendirian seperti biasanya. Sebenarnya aku mempunyai orang tua tetapi karena urusan pekerjaan membuatku untuk hidup sendiri. Sedangkan kedua orang tuaku pergi merantau untuk mengadu nasib di ibukota.
Setelah selesai,aku pun mengambil beberapa buku pelajaran sekolah dan mulai membacanya. Setelah 10 menit, aku hanya membolak-balik beberapa lembar halaman tanpa membacanya sedikitpun dan merasa bosan. Kemudian aku menelpon teman dekat atau bisa dibilang sahabat dekatku satu-satunya sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Dicky.
Dengan suara serak dan nada yang agak malas aku berkata "Oi Bro,ada yang mau gue tanyain nih. Akhir-akhir ini gue ngerasa bosen lu ada saran nggak?"
Setelah menunggu dan berpikir agak lama Dicky menjawab "Hmm gimana ya, gini aja mumpung besok hari Minggu kita jalan-jalan aja main ke Solo sekalian cari angin, setuju nggak?" dan aku pun menyetujuinya.
Sinar mentari mulai menerangi cakrawala dari ufuk timur dan burung-burung pun bersahut-sahutan dengan riangnya. Aku menggerutu ketika melihat jam di tangan kiriku.
"Mana nih si Dicky ditungguin sampai jam segini nggak muncul-muncul! jadi nggak sih sebenernya." ucapku.
kemudian handphoneku pun berdering, aku mengira itu dari Dicky tetapi setelah membuka pesan singkat tersebut ternyata isinya hanyalah pesan kosong lagi sama seperti kemarin dari nomor yang sama juga. Aku pun merasa sedikit kesal dan hendak membalas pesan tersebut, tetapi ku urungkan niat tersebut karena sesaat setelah itu Dicky datang dengan motor Supra X 125 R miliknya.
"Darimana aja sih lu kenapa baru sampai?" Aku bertanya dengan gusar.
"Sorry Bro tadi gue kesiangan jadi agak terlambat dikit, hehe." jawab Dicky dengan santainya.
"Dikit apanya gue udah nunggu daritadi sampai mau lumutan, untung aja lu temen deket gue kalo nggak udah gue tinggal tidur lagi tadi." balasku.
"Ya udah maaf Bro nanti gue traktir deh habis pulang dari sana." minta Dicky agak memelas.
"Nah gitu dong itu baru yang namanya sahabat gue." jawabku sambil tersenyum sinis.
"Dasar kalo udah begitu baru mau, ngaku sahabat cuma pas ada maunya doang." kata Dicky dengan muka yang agak kesal.
"Biarin wlekk yang penting jadi ditraktir." ejekku sambil menjulurkan lidah. Dicky hanya terdiam sambil menunjukkan raut muka mesum. Kami pun segera beranjak pergi untuk jalan-jalan ke Solo.
Setelah sekitar 2 jam kami jalan-jalan mengelilingi kota Solo tanpa arah akhirnya kami berdua pun merasa lelah dan mampir terlebih dahulu di sebuah cafe untuk melepas penat.
"Hufftt.. kesel juga ya ternyata dari tadi muter-muter nggak jelas, Lu juga gila hampir nabrak orang untung aja tadi masih sempet ngerem." kataku.
"Lu enak udah dijemput,cuma tinggal bonceng,nggak mau ngisi bensin lagi, lah gue udah boncengin sampe pegel tangan gue sampai sini masih harus traktir lu." jawab Dicky ketus.
"Ya maaf Bro, tadi kan lu udah bilang mau nraktir gue, soalnya gue juga lagi bokek nih." balasku sambil menunjukkan kantong celanaku yang kosong meskipun sebenarnya dompetku masih ada di jaket yang kupakai.
Ketika kami sedang sibuk mengobrol sambil menunggu makanan dan minuman yang kami pesan datang, tiba-tiba handphoneku berbunyi nyaring dan kulihat terdapat sebuah panggilan dari nomor yang tak dikenal, ternyata nomor tersebut adalah nomor yang sama dengan sebelumnya. Karena penasaran aku pun mencoba mengangkatnya.
"Bentar ya Bro gue tinggal keluar dulu ada yang nelpon nih." kataku kepada Dicky.
"Ya udah cepet buruan jangan lama-lama kalo kelamaan pesenannya keburu dateng, Eh yang lama sekalian juga nggak apa-apa biar nanti pesenan Lu bisa Gue makan sampai habis." kata Dicky yang diikuti tawa kecil.
"Dasar." balasku dengan kesal. Kemudian aku keluar dan menjawab telepon tersebut.
"Halo.. maaf ini siapa ya?" tanyaku kepada orang itu.
"I..I..Iya...halo..siang..Kak...Rym..." jawab seorang perempuan dari seberang sana dengan suara yang agak lirih dan terbata-bata.
"Iya siang juga,tapi maaf ini siapa ya? kok bisa tau nomorku? darimana?" aku pun kaget dan semakin penasaran.
"Ini Fa..Fane..Fanesa...Kak..." jawab perempuan itu.
"Maaf, Fanesa siapa ya? Apa kita pernah ketemu?" kataku dengan raut muka yang bingung sambil menggaruk-garuk kepala.
"U..Udah..dulu..ya Kak." tiba-tiba dia menutup teleponnya.
Dengan diri yang masih kebingungan aku mencoba berpikir dan menebak siapa sebenarnya perempuan tadi yang memanggilku dengan sebutan "Kak" tetapi kemudian aku tidak menghiraukannya lagi, meskipun sebenarnya diriku masih sedikit penasaran.
Aku pun kembali menemui Dicky yang sudah makan terlebih dahulu setelah ku tinggal keluar tadi.
YOU ARE READING
Believe Fall & Realized
Sachbücher"Mulai saat ini aku nggak akan percaya siapapun lagi! Semuanya hanyalah pembohong!" teriakku sesaat setelah kejadian itu. Kemudian aku jatuh tersungkur sambil menutupi wajahku. Tanpa sadar air mataku mulai menetes. "Percaya" sebuah kata yang mung...