Hari ini, aku dan ayah makan malam bersama di rumah dengan makanan yang ia beli saat pulang kerja.
Biasanya, saat makan kita tidak terlalu banyak bicara. Aku juga bukan orang yang sering bercerita tentang hariku padanya jadi aku hanya berbicara jika ayah bertanya dan aku hanya menjawab seperlunya saja.
Tapi rupanya Ayah ingin membicarakan hal lain kali ini."Ibumu menelepon tadi siang." Ayah memulai pembicaraan di meja makan.
"Hmm," aku terus mengisi perutku tanpa melihatnya.
"Kamu masih tidak ingin menerima telephone dari ibumu?"
"Tidak." Aku menjawabnya dengan singkat.
Ayah berhenti makan sejenak dan melihatku, "Ibumu ingin kau berlibur kerumahnya."
Aku menghembuskan napasku perlahan menahan kesal. Aku melihat ayah dengan tatapan tidak suka.
"Ayah, bisa tidak jangan membicarakan wanita itu!"
Aku meletakan sumpitku sembarang dengan kasar."Jaga bicaramu! Dia ibumu." Ayah mulai menaikkan nada bicaranya, tidak suka dengan kata 'wanita itu' yang kuucap.
"Aku makan diluar saja!" aku beranjak dari kursi dan meninggalkan meja makan. Aku bahkan tidak memedulikan makananku yang masih tersisa di piring.
Ayah memanggil namaku pelan tapi aku berpura-pura tidak mendengarnya dan terus berjalan.
Aku pergi menuju kamarku dan mengambil jaket.
Pergi keluar rumah tanpa berpamitan padanya."Lebih baik aku makan di minimarket saja." Aku terus berjalan dengan cepat menjauh dari rumah. Jalanan terasa sepi, memang daerah tempat tinggalku masih terasa seperti desa, bukan layaknya kota yang saat tengah malampun masih tetap ramai.
Aku terus berjalan menuju minimarket tapi pikiranku terus kembali kerumah. Memikirkan Ayah.
Ayah jarang sekali pulang karena pekerjaannya, tapi saat dirumah kami malah berdebat.
Apa aku terlalu kasar pada Ayah?
Tidak.
Wanita itu yang membuat aku menjadi seperti ini. Dia juga membuat Ayah berubah menjadi seorang yang gila kerja. Bekerja tak kenal waktu hanya untuk mencari uang.
🍃
🍃
🍃Aku membeli sosis dan sebotol jus rasa melon, duduk didepan mini market dengan jaket yang sangat tebal membungkus badanku.
Udara di sini sangat dingin, aku menggosok dan menepuk-nepuk lenganku untuk mengurangi rasa dingin ditubuhku. Lalu aku termenung, kembali memikirkan ayah dirumah.
apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku tetap pada egoku yang tidak ingin bertemu dengan ibu atau mengalah saja.
Lamunanku terpecah saat seseorang duduk didepanku hingga membuat kursi berdecit. Taehyung dengan sweater hitamnya yang tipis dan sebatang rokok yang menyala, ia duduk manis sambil tersenyum kearahku.
"Apa yang sedang kau lakukan disini?" Aku bertanya padanya.
"Aku melihatmu keluar dari rumah dan disinilah aku." Ia tersenyum kearahku. Aku dapat melihat asap keluar dari mulutnya.
Aku melihatnya dengan mata yang kusipitkan. Dia balas melihatku seraya menghisap rokoknya.
"Ayo pulang!" aku berdiri dari kursi.
"Ah, aku baru saja sampai, aku juga baru menyalakan rokokku." Protesnya
"Kau bodoh sekali, sih! Mengapa keluar rumah hanya memakai sweater tipis itu? Cepat buang rokok sialan itu dan pulang kerumah!" Aku sangat kesal, kali ini bukan karena asap rokoknya tapi bagaimana bisa dia keluar rumah hanya dengan pakaian seperti itu di udara yang sangat dingin ini.
Aku berjalan meninggalkannya yang masih duduk terdiam. Beberapa saat kemudian aku mendengar langkah kaki mendekat. Tiba - tiba seseorang memelukku dari belakang, siapa lagi jika bukan dia. Kim Taehyung.
"Taehyung menyingkirlah!"
Dia tidak menghiraukan ucapanku, dia malah memasukkan tangannya ke saku jaketku."Dingin." Ucapnya pelan, napas dinginnya membuat kulit pipiku merinding, wajahnya cukup dekat dengan wajahku.
Aku membiarkan dia memelukku dan kembali berjalan pelan.
"Terima Kasih." langkahku terhenti mendengar kalimat yang dia ucapkan.
"Terima kasih untuk selalu mengkhawatirkanku." Taehyung mengucapkan kalimat itu dengan sangat tulus.
"Simpan kalimat itu untuk nenek, Tae." Ucapku pelan.
"Aku selalu mengucapkan padanya setiap hari." Aku tahu, Dia tersenyum tulus.
Saat ini, kami berjalan perlahan. Masih dengan dia memelukku dari belakang"Taehyung, aku ingin bertanya." Suaraku keluar dengan ragu
"Hmm..."
"Apa kamu mencintai ibumu?"
"Tentu saja." Ia memelukku erat.
"Bagaimana jika dia melakukan hal buruk padamu?" Aku bertanya lagi.
Dia berhenti berjalan, membuatku ikut berhenti pula dengannya "Dia pasti punya alasan."
Aku kembali berjalan perlahan "Kau tahu mengapa ayahku jarang sekali dirumah?
Dia bekerja. Kau tahu juga tidak? Ibu meninggalkan ayah karena ayahku miskin." Aku menunduk memandangi jalanan. Menendang beberapa kerikil kecil yang menghalangi jalanku.Dengan ragu aku melanjutkan ceritaku,
"Perusahaan ayah bekerja sedang jatuh waktu itu, ibu selalu memarahi Ayah karena tidak bisa memberikan uang untuk berbelanja, " Aku menghembusakan napas pelan, mulai terasa sesak didada, aku tidak berani menoleh ke arah Taehyung."Taehyung, ibuku meninggalkanku saat aku masih duduk disekolah dasar, Tapi sudah dua tahun ini dia memintaku untuk berlibur ke rumahnya, tentu saja tinggal dengan keluarga barunya." Aku sebenarnya ragu untuk bercerita dengannya, tapi aku butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahku.
Jika mengingat hari itu, rasanya aku ingin menangis. Aku hanyalah anak kecil yang tidak dapat berbuat apa-apa. Aku sakit hati melihat Ayah dimaki-maki dengan kasar. Dia juga melempari ayah dengan barang apapun yang berada didekatnya . Ayah saat itu juga tidak berbuat apa-apa. Aku benci sekali padanya. Ia telah menyakiti Ayah, itu membuatku terluka.
Sakit hatiku membuatku tidak ingin bertemu dengannya.
Tiba-tiba Taehyung mengeratkn pelukannya padaku, "hmm, pergilah berlibur ketempat ibumu."
Aku diam, tidak memberikan balasan pada ucapannya, aku juga bingung mengapa dia malah menyuruhku untuk berlibur ketempat ibu.
Kami hampir sampai di depan rumah.
"Ayahmu pergi?" Tanyanya.
"Aku pikir." Aku melihat mobil sedan biru Ayah sudah tidak terparkir didepan rumah.
"Mau aku temani belajar malam ini?" Taehyung kini berjalan didepan menghadapku.
"Pulanglah, Nenek sendiri dirumah." Aku mendorongnya untuk menyingkir dari hadapnku.
"Aku akan pulang jika sudah larut sekali." Dia tetap memaksa.
"Baiklah" jawabku hanya bisa pasrah.
Kami duduk bersila diruang tamu, dengan buku-buku yang sudah berjejer rapih dimeja.
"Kamu tidak bisa mengajariku?" Tanyaku padanya.
"Aku bodoh, jangan tanya soal matematika padaku"
"Kau tidak ada gunanya disini." Ejekku
"Aku kan bilang akan menemanimu bukan mengajarimu, hehe." ia berkata dengan senyum bodoh diwajahnya.
Huh, anak ini.
Beberapa menit kemudian aku melihat dia sudah menyenderkan badan pada dinding dan terlelap.
--------------
Maaf baru update,
Maaf blm sempet baca ulang jadi kalau ada yg rancu maaf..
Mohon kritik dan sarannya.-Derpina xoxo