2: Wonwoo

907 121 3
                                    


Cklek

Punggungku bersandar lelah di depan daun pintu yang tertutup. Kesejukan tersambut dari dalam ruangan kecil yang kumiliki telah lama ini. Aku bergegas melepaskan sepatu sport usang dari kakiku yang agak pegal, dan menjamah lantai kayu reyot yang berderit saat kakiku menyentuhnya.

Kulihat kembali seisi ruangan yang tidak akan pernah dengan ajaib berubah dalam waktu singkat. Menjadi lebih mewah, dan lebih layak. Hanya ruangan apartemen seharga murah untuk menghabiskan 3 kotak isi ramen selama sebulan. Itu sudah cukup murah dan bersahabat untuk pemuda sederhana sepertiku.

Jaket sekolah kulempar sembarang , tergerai di atas lantai. Kaus kutang yang telah berkeringat, kulepaskan. Bau siang hari yang menyengat sudah menggelitik hidung, mohon-mohon minta dibersihkan di bawah guyuran air dingin. Aku bukan tipe suka kebersihan, sehingga pikiran tersebut hanya kuanggap angin lalu. Lebih suka melemparkan diri ke atas ranjang terdekat, dan menatap langit-langit berdebu.

Pak Tua sialan itu sekali lagi mengusirku keluar dari toko baunya. Tidak tahu berterima kasih dari semua usaha yang kulakukan untuk membuat toko itu masih tetap berjalan. Tapi setidaknya, ia tidak membenci usahaku selama ini. Yang ia benci adalah wajah berandalku. Yang seolah mengejeknya, tidak bisa lebih jelek dari yang ia punya. Hehe.

Aku tidak merasa menyesal dengan sehari yang telah kulewati, lagi. Tidak ada yang beda. Membuat masalah (mereka pikir begitu), melakukan hal serampangan, mendengarkan celoteh memuakkan. Semuanya berjalan seharusnya. Seolah takdir inilah yang telah mengemban pada tubuh berdosaku ini. Ya, aku jadi tidak menyesal. Aku terima saja.

"Tapi ini melelahkan." Mataku terkatup. Walaupun menjalankan hari-hari payah ini begitu saja setiap harinya, tapi kenapa tubuhku merespon sebaliknya. Mudah lelah, mudah capek. Terasa sakit, kadangkala. Terutama di 'hati'. Sangat sakit. Padahal sebuah kalimat terus mendorong dalam diri ini.

Wonwoo, Inilah dirimu. Berada di dunia yang menganggap keadilan sudah seperti 'hal tabu'. Jalani saja.

Ayah menepuk kepalaku berkali-kali ketika mengucapkannya. Senyumannya selalu terbayang acap kali kalimat itu terlontar dari dalam pikiranku.

Ugh... aku ingin menangis lagi. Kau ini benar-benar cengeng, Jeon Wonwoo.

GRRRRR! GUUKK GUUK!

Suara gonggongan menyentak di telinga. Aku langsung terbangun, melarikan diri ke arah jendela, mengawasi tiap jejak jalan dari dalam. Anjing Bibi Jin , pemilik apartemen usang ini, sangat peka pada suara asing yang jarang ditemui di sekitarnya.

Tidak perlu lagi alarm pengintai para pencuri tengah malam. Walaupun menurutku, itu tetaplah tidak berguna. Mana ada pencuri mau menerobos masuk, mengambil hak-hak orang tak ber-uang disini. Mereka mau ambil apa? Keperawanan wanita tua? Pakaian busuk para buruh? Atau buku-buku anak SMA?

"Tapi, ini belum tengah malam." Para pencuri pastilah belum selesai mendengkur dari tidur sorenya. Atau mengemas peralatan bongkar-pasangnya. Pasti bukan pencuri yang barusan mengejutkan sang Anjing Rottweiler itu.

Namun jalanan kosong. Seperti biasa. Tidak pernah terisi oleh penduduk berlalu-lalang. Paling ramai ketika siang hari, dimana jalanan tidak sedang rawan para pekerja mesum habis mabuk-mabukkan.

Rasa curigaku gugur. Hanya memaklumi keadaan. Aku pun menggeret jendela kaca kembali tertutup. Besi rodanya sudah berkarat, hingga suara geretannya terdengar bising. Aku berjanji, tidak akan seenaknya membuka jendela terlalu kasar.

EYE WITNESS; Meanie[√] Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon