3: Mingyu

726 111 2
                                    


Wonwoo tampak kebingungan ketika aku sudah sampai menariknya ke atap gedung. Angin siang ini terasa cukup nyaman dan tidak terlalu panas. Tempat yang cocok untuk kami berbincang sementara. Ide yang bagus, Mingyu.

"Wonwoo, apa aku menarikmu terlalu keras?" aku mencoba mendekati dan hendak memeriksa situasi pergelangan tangannya yang kutarik cukup keras. Apalagi dengan tiba-tiba berlari terlalu kencang sehingga beberapa kali Wonwoo hampir terjatuh dari langkahnya. Aku takut sudah menyakitinya.

Saat tangannya kusentuh, tiba-tiba ia menjauhi. Seolah mencegah kulitku menyentuh kulitnya. Lagi-lagi tatapan brutalnya menelanjangiku. Tapi itu tidak mengerikan.

Lebih kepada, kasihan.

"Brngsek. Siapa kau?! Apa maksudmu mengikut campur urusanku?!" Wonwoo membentak. Tidak jauh berbeda dari seekor anjing meraung keras pada musuhnya. Ia melihatku seperti musuh, musuh yang sangat dibenci.

Aku mencoba tenang dan tersenyum.

"Aku Kim Mingyu. Kita sudah berkenalan sebelumnya, bukan?"

"Hah? A—aku tidak peduli siapa kau, a—"

"Tapi tadi kau bertanya 'siapa aku'? Jadi kujawab."

"BODOH! Maksudku, apa posisimu untukku sampai kau lancang menganggu rencanaku, sial!?"

Aku tertawa tanpa dosa sembari menggaruk belakang kepalaku. Bertingkah polos ketika di hadapanku ada seorang pemuda emosian yang kini pipinya memerah. Aku tidak tahu kenapa, tapi ia terlihat imut.

"Begini. Kita mungkin belum terlalu kenal. Tapi sebagai seorang teman, aku jelas tidak akan membiarkanmu melakukan kekerasan di sekolah, apalagi dengan seorang Kepala Sekolah. Apa kau tidak takut dikeluarkan karena hal itu?"

"Aku tidak peduli!" Wonwoo bersuara semakin keras. Telingaku jadi agak pengang. "Kalaupun aku dikeluarkan, itu lebih baik. Aku tidak butuh sekolah yang tidak mau menganggapku. Yang kubutuhkan adalah uang!"

"uang? Anak secerdasmu, bisa menghasilkan uang kapanpun dan dimanapun."

Wonwoo terdiam. Maniknya mengerjab-ngerjab penasaran. Lihat. Ia memang adalah laki-laki yang imut di luar kepribadiannya yang sadis. "Be—benarkah?"

"Ya, itu jika kau bisa dapatkan dulu ijasah SMA mu. Mungkin, tidak akan menjadi kesulitan untukmu."

Wonwoo mulai menurunkan intens kemarahannya. Ia berlalu kepada pagar pembatas.

"Jangan merendahkanku di situasiku yang sedang sulit ini."

Aku memperhatikannya yang terlihat putus asa. Aku terus mengawasinya dari kejauhan, takut-takut jika ia berusaha mengakhiri hidupnya.

"Kenapa kau sangat butuh uang untuk saat ini? Bahkan sampai mengorbankan pendidikanmu sendiri. Sayang sekali. Jikalau pun kau butuh, kau bisa kerja part time, kan?"

"Kenapa aku harus mengatakannya padamu? Kau tidak akan membantu sama sekali. Pergilah! Aku butuh sendiri."

Aku tersenyum. Lebih kepada sindiran. "Baiklah."

Aku mendekatinya. Seraya mengambil genggaman tangannya, kutulis sesuatu di tangan kanannya dengan pulpen yang sedari bertengger di kantung seragamku.

"Kalau kau sangat butuh uang, kau tidak usah mengorbankan beasiswamu. Ajarkan aku saja , aku bisa menggajimu." Lalu kusudahi hasil tulisanku.

Sebuah alamat berharga yang hanya kuberikan untuknya.

Beberapa saat kemudian, aku melaju pada pintu atap hendak meninggalkannya. Aku terpikirakn sesuatu. Pada pertanyaanku sebelumnya, dan bagaimana ia meresponku.

EYE WITNESS; Meanie[√] Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon