Berbekal alamat yang diberikan Bibi Ahyeol, aku begitu percaya diri melangkah mendekat ke sebuah rumah besar yang telah diarahkan taxi.
Rumah itu besar, 5x lipat dari rumah Mingyu. Aku belum pernah menginjak kaki di rumah besar dan seluas ini.
Dibilang nyaman? Tidak. Bulu kudukku meremang, memuncak adrenalin ketika pagar masuk sudah kulewati. Beberapa belasan mata menengok ke arahku. Badan mereka besar-besar, menakutkan. Siap menimpaku jika aku berbuat macam-macam. Siap mengigitku, jika aku merongrong membuat masalah.
Bahkan bau pembunuhan merangsang inderaku. Tidak ada yang rapih dan senang dirawat di sekelilingnya. Mereka tidak takut mempertontonkan parang dan kayu tumpul seperti aksesoris sehari-hari di genggamannya.
Entah aku telah diundang, atau tamu manapun bisa dipersilahkan masuk selayaknya turis asing memasuki sebuah lokasi wisata, mereka tidak menerjangku dengan pelarangan masuk. Mereka hanya awas memperhatikan pergerakanku seperti singa lapar.
Langkah kakiku lemas justru karena merasa diijinkan bebas maju sampai ke dalam.
"Kenapa rumah besar seperti ini tersembunyi dekat daerah hutan?" gumamku, hampir tidak didengar siapapun.
Rumah ini memang kuakui tertutup sebagian besar batang pohon besar, dan tidak dekat pemukiman yang padat penduduk. Tempat seperti ini pasti tak ingin jadi daya tarik, tapi untung taxi masih mengenal alamatnya.
"Mau bertemu siapa?"
Langkahku terhenti, dicegat seorang pria plontos dengan badan menjuntai menghadap di depanku. Ia bersidekap, matanya tajam, siap membelah siapapun yang tidak bisa menjawab benar.
"Tu-Tuan Jisung." aku tidak bisa menahan rasa takut. Segera kusodorkan kertas dengan tulisan acak-acakan di dalamnya. Itu hasil tulisanku yang sedang menanggung emosi. Tidak punya waktu menyalurkan hasrat pada jari-jariku saat itu untuk menulis rapih.
"Saya datang untuk melunasi hutang-hutang panti asuhan Bibi Ahyeol."
Pria plontos bertubuh besar itu mendelik. Reaksi yang cepat apabila ia megenal sesuatu dari Bibi Ahyeol.
"Ikut aku." ucapnya dengan nada begitu berat. Dengan gontai aku hanya mengikut, walaupun aku tidak akan berdua saja bersamanya untuk masuk. Kehadiranku menghadap Tuan Besar mereka juga diantar dua asisten lainnya. Total aku diawasi 3 orang sekaligus, yang kuperhitungkan, bahkan tidak bisa kuambruki dengan tangan kosong.
Mungkin aku sudah menghajar banyak orang.
Mungkin juga aku sudah melempari mereka dengan barang-barang berat.
Mungkin sudah pernah dilaporkan polisi.
Mungkin juga aku sulit memasang wajah takut pada siapapun.
Tidak setelah aku berhadapan dengan semua orang di dalam rumah ini yang lebih mengerikan dari monster sekalipun. Mereka menghantuiku dengan tatap awas mereka. Menjilat tubuhku dengan udara pengap berisi asap rokok. Juga kulihat beberapa benda pukul dan tajam dengan berani mereka bawa-bawa.
Mereka ini apa? Yakuza? Mafia? Buronan?
Aku dibawa ke sebuah Tempat kerja seseorang ramai dengan berkas-berkas tak tersusun selayaknya dimana-mana. Terasa sekali hidup dalam keputusasaan.
Aku tak sengaja mencium bau darah? Atau perasaanku saja. Semoga salah satu yang membawaku tidak pernah jadi algojo.
Tubuhku didorong, disuruh mendekat ke sisi meja di tengah ruangan. Ku berani mendekat ke sebuah kursi hampir bobrok di depan. Berhadapan dengan meja itu, sebuah kursi kerja putar yang belum berani menghadap padaku. Seseorang duduk di belakangnya, sambil mengepulkan asap yang menyembul ke udara.
BINABASA MO ANG
EYE WITNESS; Meanie[√]
Novela Juvenil[ Seventeen FF ] Kim Mingyu adalah seorang pelajar biasa yang menjalani kehidupannya biasa saja. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang Jeon Wonwoo, si Pembuat Masalah Gunseon. Pemuda yang dikatakan harus, 'dijauhi, mengerikan, tidak akan ada...