Secret (8)

249 24 43
                                    

Sepasang remaja tengah berjalan bersisian di salah satu koridor SMA Tunas Harapan. Jika kalian berpikir mereka sedang asyik mengobrol layaknya dunia milik berdua, kalian salah.

Nyatanya, keadaan disana terasa sangat canggung.

"Jadi ... Kita mau belajar dimana?" Rasya bertanya seraya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Keadaan saat ini membuatnya tak nyaman.

Tadi, setelah ada seorang adik kelas yang Nisa tidak tau dan tidak mau tau namanya menyampaikan pesan dari Bu Resti, Nisa langsung mengedarkan pandangan pada teman teman sekelasnya, "Emang tuh orang gak ikutan rapat ya?" tanyanya.

"Mana gue tau, emang lo pikir gue anaknya?" Jawab salah satu dari teman sekelasnya, entah siapa.

"Hayoloh Nis, ada apaan hayooo."

Nisa bangkit dari duduknya seraya memutar bola matanya malas, mengabaikan seruan teman-temannya.

Saat sudah sampai di ruang guru, Nisa langsung berjalan menuju meja Bu Resti. Hanya ada beberapa guru yang terlihat di sana, dikarenakan rapat guru masih berlangsung hingga saat ini.

Nisa baru menyadari ada seorang pemuda duduk membelakanginya tepat dihadapan Bu Resti, namun saat ini dia tak terlalu mengacuhkannya. Penyebab Bu Resti memanggilnya kemari jauh lebih penting sekarang ini.

"Maaf. Ada apa ya, ibu manggil saya?" tanya Nisa sopan.

Bu Resti geleng-geleng kepala melihat Nisa.

"Lihat ini," ujarnya seraya menggeser selembar kertas dimejanya.

Nisa meringis melihat angka 20 berwarna merah di bagian pojok kanan atas kertas tersebut.

"Saya mau kamu belajar dan memperbaiki nilai kamu. Saya sudah minta tolong kepada salah satu anak didik saya untuk membimbing kamu dalam mata pelajaran saya, benar kan Rasya?"

Nisa yang terkejut mendengar nama itu langsung menoleh ke samping kanannya dan jantungnya berdetak kencang saat bertatapan dengan manik coklat indah milik pemuda di sampingnya.

Dan ... Disinilah dia sekarang, bersama seorang pemuda yang disukainya. Senang sih. Tapi, kok awkward ya?

"Di perpus, pulang sekolah besok bisa gak?" Nisa menjawab dengan tatapan lurus ke depan, menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya.

Bukannya takut, dia hanya berusaha menormalkan detak jantungnya yang menggila. Ditambah lagi, mengingat perkataan teman-temannya beberapa waktu lalu yang mengatakan mereka memiliki hubungan membuatnya semakin gugup.

"Bisa kok." Rasya menyanggupi, kemudian dia berdeham, "kok jadi canggung gini ya?"

Nisa nenoleh pada Rasya yang sedang menatapnya, lalu mereka berdua terkekeh menyadarinya.

"Perasaan kemarin waktu di cafe gak secanggung ini deh." Rasya melanjutkan.

"Iya juga ya, kenapa sekarang jadi gini deh?" Nisa menimpali

"Seharusnya gue yang nanya gitu, lo keliatan kaget banget tadi pas liat muka gue. Emang muka gue mirip setan ya?"

Nisa tergelak. "Lo bisa aja. Tapi emang sih muka lo sebelas dua belas sama valak."

Rasya mendengus. "Cuma lo cewek yang bilang muka gue mirip valak, cewek lain pada bilang gue ganteng."

"Idih, pede banget lo. Gantengan juga Shawn Mendes."

Rasya dengan ekspresi sombongnya menjawab, "Mending malu-maluin daripada gak punya malu. Lagian seganteng apa sih Shawn Mendes? Gantengan juga gue."

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang