Shera menolehkan wajahnya ke arah Nisa dengan cengiran jahil terpampang di bibir yang dipoles lipstik merah terangnya. "Pertama-tama gue mau nanya, lo beneran udah jadian sama Rasya?"
Nisa terdiam, jantungnya berdegup keras. Jika dilihat lebih jelas wajah Shera terlihat menarik, apalagi jika warna-warni riasan itu dihapuskan.
Namun, jelas bukan itu yang membuat wajahnya semerah cabai yang kerap dipotong bibi yang bekerja di rumahnya
"I-itu," jawabnya tergagap karena malu.
Shera tertawa cukup keras melihat tingkah adik kelasnya, membuat ringisan kecil keluar dari bibir Nisa.
"Hahaha, iya gue tau lo bohong ke Vanesa tadi. Muka lo lucu banget tau nggak."
Nisa menarik bibirnya dengan sedikit terpaksa melihat reaksi Shera yang di luar dugaannya.
"Gini ternyata selera Rasya. Bagus juga." Shera mengangguk dengan sisa tawanya.
Nisa segera berusaha mengembalikan topik sesaat setelah tawa Shera terhenti. "Jadi cerita nggak nih, kak?"
Helaan napas berat terdengar di sebelahnya. Kayaknya ini topik yang berat buat Kak Shera, pikirnya.
Lalu hembusan perlahan dikeluarkan Shera. "Oke," ujarnya berusaha memantapkan diri.
Namun setelah beberapa menit lamanya tak jua sepatah kata lain keluar dari mulutnya. Nisa pun tak terlihat ingin memaksanya mengeluarkan suara walaupun rasa penasaran semakin menyiksa.
Suasana lengang melingkupi mereka berdua. Kesiur angin terdengar di sela langit jingga dan keheningan di kordor sekolah.
Nisa yakin, di sekolah ini masih ada orang lain yang tersisa selain mereka berdua. Entah berada si mana orang-orang itu saat ini, yang jelas tidak sedang di dekat mereka berdua.
"Reza itu mantan gue waktu SMP." Kalimat pertama terlontar setelah lima menit berlalu dalam keheningan.
Shera melanjutkan, "lo mungkin udah nebak hal ini. Mungkin lo juga heran, kok bisa? Yah, jangankan lo, gue aja heran kenapa cabe kayak gue ini dulu bisa dapetin orang kayak Reza."
Nisa membuka bibirnya berniat menyanggah kalimat tersebut, tetapi Shera lebih dulu mengangkat salah satu telapak tangannya yang terpaksa membuat Nisa bungkam.
Shera menatap sendu ke depan, pandangan matanya terlihat menerawang, bibirnya mengukir senyuman yang sama sendunya dengan kedua bola matanya.
"Tapi emang pada dasarnya orang kayak gue gak pantes buat Reza." Hembusan napas pelan lagi-lagi terdengar.
"Dulu gue beda sekolah waktu masih pacaran sama Reza. Gue dulu naif banget. Gue kira pelangi selalu dateng setelah badai, tapi nyatanya gue salah. Pelangi gak selalu dateng setelah hujan, apalagi kalau banyak polusi yang mengganggu."
Nisa menyimak setiap kalimat yang keluar dari bibirnya, tak lagi ingin menyela barang satu kata pun.
"Setelah hubungan kami jalan setahun, dia hianatin gue. Dia jadian sama Vanesa—temen sekelasnya waktu itu— di belakang gue. Kelas berapa ya itu? Ah, kelas sembilan, di minggu terakhir semester satu. Dan, ya, kami ketemu lagi waktu SMA."
Shera mengingat semuanya dengan jelas, tak ada satu detail pun yang berhasil dilupakannya selama beberapa tahun terakhir.
"Gue dulu keliatan normal kayak lo, gue bahkan ga suka sama yang namanya make up, ribet. Gue kan aslinya udah cantik, ngapain pake make up, haha."
Nisa hanya mengernyitkan dahi mendengar kalimat Shera yang berkebalikan dengan topik sebelumnya.
"Mama gue single parent, lo tau kenapa?" Shera memandang Nisa dengan ujung matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer
Genç KurguAku mengagumimu dalam diam, menyukaimu dalam diam, mencintaimu dalam diam, dan merasakan sakit dalam diam pula. -Secret Admirer Kisah dua orang yang saling menyukai atau mungkin mencintai? Namun saat ini keduanya tak saling mengenal, apalagi menget...