Dengan perasaan was-was yang masih berusaha diabaikannya, Nisa mengekor tiga gadis yang merupakan seniornya menuruni tangga yang berada tepat di samping perpustakaan.
Hanya langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan anak tangga. Nisa melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan sebelah kirinya. Setengah lima. Sekitar tiga puluh menit lagi perpustakaan akan dikunci.
Memang perpustakaan sekolah baru akan ditutup pada pukul lima sore, tetapi hal tersebut tidak mengurangi kesunyian di tempatnya saat ini.
Lagi pula, perpustakaan memang hampir selalu sepi dan jarang ada yang ingin mengunjunginya tanpa alasan. Juga tempatnya yang berada di pojok dan agak berjauhan dengan ruang kelas membuat auranya semakin suram.
Mereka berbelok ke arah kiri saat telah sampai di anak tangga terakhir. Nisa mengernyitkan dahinya, ia tak lagi berusaha menyanggah alarm bahaya yang muncul di otaknya.
Namun raut tenang masih terjaga di wajahnya. Jantungnya yang berdebar keras tak membuatnya bersikap gegabah.
Tepat di bawah perpustakaan sekolahnya adalah ruang kelas rusak yang tak terpakai, rencananya kelas tersebut akan direnovasi dalam waktu dekat.
Mereka berbelok sekali lagi sebelum berhenti tepat di belakang kelas. Aura di tempat itu jauh lebih suram daripada perpustakaan, bangku-bangku tak layak pakai yang berserakan di mana-mana sama sekali tak membantu.
Tiga seniornya berbalik sehingga berhadapan dengan Nisa. Gadis yang berada di tengah menampakkan raut datar sarat akan kemarahan, angat berbanding terbalik dengan ekspresi manis yang selalu dilihat Nisa sebelumnya.
Sedangkan dua orang di sisinya yang sudah terlihat bagai bodyguard itu menyeringai. Mati lo, bocah!
Nisa mendengus, kedua alisnya terangkat. 'Sama aja ternyata.'
Gadis yang berada di tengah menyilangkan kedua tangannya di depan dada, membuka suaranya mencoba mengintimidasi.
"Jadi..."
Peraturan pertama dalam kamus Nisa saat menghadapi situasi berbahaya: Jangan pernah tunjukan rasa takutmu, kecuali memang kau tak memilikinya.
"Udah berapa lama lo jadian sama Rasya?"
Peraturan kedua: Tak perlu mengatakan kebenaran.
"Sekitar satu minggu, mungkin? Emangnya kenapa, kak?" ujarnya santai.
Melihat lawannya tidak terpengaruh dengan intimidasinya membuat Vanesa tersulut emosi lebih dalam lagi, kakinya melangkah maju dengan tangan kanan terangkat dan terbuka lebar.
Peraturan ketiga: Jika situasi mulai berbahaya, lawan!
Tepat saat telapak tangan Vanesa akan menyentuh pipinya, Nisa menahannya dengan raut datar. Ia mendengus, seringaian terbentuk di bibirnya dengan maksud merendahkan.
'Sori aja, tapi kayaknya lo salah orang buat dijadiin lawan.' Tak tau saja dia, bahwa Nisa pernah diajari beladiri oleh kakaknya yang memiliki sabuk hitam pencak silat.
Vanesa menggeram marah dan meronta mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Nisa.
"Lo! Kurang a—arggh."
Nisa memelintir tangan seniornya tanpa aba-aba.
Dua orang bodyguard yang berdiri beberapa langkah di belakang Vanesa mulai beranjak maju setelah pulih dari keterkejutan.
"Eits, sini aja kalian temenin gue nonton." Suara yang tak terduga muncul di belakang mereka berdua disertai tarikan pada rambut menahan keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer
Fiksi RemajaAku mengagumimu dalam diam, menyukaimu dalam diam, mencintaimu dalam diam, dan merasakan sakit dalam diam pula. -Secret Admirer Kisah dua orang yang saling menyukai atau mungkin mencintai? Namun saat ini keduanya tak saling mengenal, apalagi menget...