Lelaki itu nampak cukup frustasi kala objek pertama yang ia lihat begitu membuka pintu rumahnya adalah seorang perempuan muda dengan balutan baju rumahan yang nampak pas di badannya yang terbentuk. Tiba-tiba, Davin bergidik geli begitu ia tidak sengaja membayangkan apa saja yang sudah dilakukan perempuan itu dengan ayahnya untuk rentan waktu yang terbilang cukup lama.
"Dav, bilangin Keenan gue mau ketemu dia. Besok. Ya?"
Alih-alih menjawab, Davin malah buang muka dan melangkah setelah ia tidak sengaja menyambar bahu perempuan itu pelan.
"Davin." Suara Denira saat itu seakan tidak mempan untuk membuat Davin menolehkan kepalanya. "Davin tolong bicara dengan sopan dengan saya. Saya nggak mau kasar sama kamu. Saya juga nggak mau kalo Mas Ronny denger saya bicara dengan bahasa kasar ke kamu." Meskipun menandakan ketegasan, Denira berusaha keras untuk tidak mengucapkan hal itu dengan teriakan dan bentakan.
Davin berdecih. Kemudian, cowok itu memutar badannya ke belakang, mendapati perempuan malang itu. "Bukannya gue udah bilang?" Kening Denira mengerut tipis. "Gue enggak akan membiarkan lo ketemu sama Keenan setelah apa yang lo lakuin ke dia dua tahun yang lalu, Ra. Untuk sebut namanya aja, lo bahkan nggak pantas."
Denira ingin sekali menampar wajah Davin. Kalau perlu, saat itu juga. Tapi ia cukup tahu diri. Ia tidak mungkin melakukan hal itu selama ia masih menetap di rumah Davin. "Dav--"
"Dan ya, meskipun sekarang status lo masih belum istri sah bokap gue, bukan artinya gue akan menghargai lo jikalau nanti lo udah jadi istri sahnya. Nggak, Ra. Bahkan saat status lo nanti bakalan berubah jadi ibu tiri gue..." Davin menggantungkan ucapannya. Ia diam sejenak, menatap Denira lamat. Lalu, ia tersenyum miring. "...gue nggak akan pernah menganggap lo ada."
Denira hanya bisa menahan emosinya kala menatap punggung Davin yang mulai menjauh. Dua tahun bukanlah hal yang mudah untuk dia dalam menghadapi Davin. Hampir tiap hari dia menerima tatapan tajam seperti itu dari calon anak tirinya. Selama dua tahun juga ia rasa dirinya tidak dihargai keberadaannya di rumah itu.
Namun, ia tidak memiliki pilihan apa-apa.
Dua tahun yang lalu, satu-satunya pilihan yang tersedia untuk dia adalah seperti saat ini; menikahi seorang duda satu anak yang tak lain anak itu adalah temannya sendiri hanya untuk tetap bertahan hidup.
Karena jauh sebelum ia bertemu dengan Ronny, hidupnya tidak pernah beres.
****
"Keenan?"
Cukup lama bagi Keenan untuk menatap perempuan yang berdiri di depannya itu dengan lurus. Kemudian, ia memilih untuk meletakkan helmnya sembarang pada kursi terdekat. Menghela napas, Keenan baru berujar, "udah malam. Mama kenapa kesini?"
Mendadak, hati Aulia seperti baru tersentuh saat itu. Tersentuh saat dengan jelas ia mendengar Keenan masih menyebutnya dengan 'mama'. Ia lalu mengambil langkah maju, mendekat ke arah Keenan. "Kangen, Ken. Mama kangen kamu."
Keenan tidak mampu menatap iris milik Aulia itu. Iris yang sempat membuat Keenan kecewa, dan juga iris yang pernah menciptakan luka dalam hatinya. Maka dari itu, Keenan hanya bisa membuang muka sedang ia buka suara, "mama masih punya kunci duplikat apartemen Keenan?"
Keenan melirik dari sudut mata dan mendapati Aulia yang mengangguk. "Kabar kamu selalu baik kan, Ken? Sekolahmu gimana? Mama harap Mama nggak akan pernah mendengar kabar buruk dari kamu." Aulia lalu mengelus lengan Keenan perlahan.
YOU ARE READING
Home Is In Your Eyes (was Let Me Love You)
Teen Fiction(JUDUL CERITA INI YANG PERTAMA LET ME LOVE YOU DAN SUDAH DIGANTI). Bagi Keenan, Andara adalah seorang gadis yang memilik satu daya tarik yang kuat; mata hijaunya yang selalu ia bawa kemana-mana. Bahkan, senyum gadis itu juga ikut memancarkan kesan m...