11 : SMS Pertama Keenan

342 79 4
                                    

Suara deru knalpot milik cowok itu berhenti sesaat setelah motor merah itu sudah melewati pintu gerbang yang tingginya dua meter itu. Genta melepas helm fullface yang daritadi menutup mukanya lalu menaruhnya tepat di atas jok motor. Cowok itu menghela napas panjang sebelum ia menuntun kedua kakinya masuk ke sebuah perumahan elit bertingkat dua di daerah Jakarta Utara. Seketika itu pula, sebuah pemandangan tak asing menyambut matanya.

Genta tidak terkejut lagi bila melihat bagaimana isi rumah mewah dengan latar belakang emas yang mendominasi. Isinya cukup rapi. Ralat, sangat, malah. Bahkan semua barang-barang di dalam terlihat tidak pernah tersentuh—masih baru dan mengkilap. Serta sampai saat ini, Genta juga tidak melihat adanya satu saja pernak-pernik atau bahkan bingkai foto bahkan lukisan terpampang di dinding. Satu-satunya benda yang menggantung di dinding bercat emas itu hanyalah sebuah kalender yang entah dari tahun berapa.

"Den?" Suara itu membuat Genta mengalihkan pandangannya, menatap perempuan setengah baya dengan baju seperti perawat dengan tinggi di kisaran seratus lima puluhan senti itu. "Den Genta pulang. Ibu pasti senang."

Genta hanya tersenyum tipis sebagai gubrisan. Ia pun menatap salah satu pintu berwarna senada yang terletak di lantai atas. "Mama ada di atas, kan?"

"Ada, Den. Beliau tiap hari selalu nungguin Den Genta pulang. Ibu selalu nangis tiap malam karena nggak tahan kangen sama Den."

Kalimat dari Mbak Sur itu sukses membuat hati Genta mencelos. Pemuda itu diam sejenak, membiarkan pikirannya berkeliaran. "Kalo gitu, saya ke atas dulu, Mbak."

Mbak Sur pun mengiyakan, lantas Genta menaikki satu demi satu anak tangga dengan perlahan. Sesampainya di depan pintu itu, Genta diam sejenak. Setelah mengumpulkan keberanian yang cukup, Genta membuang napas panjang lalu membuka gagang pintu itu pelan.

Saat pintu berhasil dibuka, sebuah pemandangan tidak mengenakkan langsung nampak; di depan sana, berdiri seorang perempuan setengah baya dengan badan yang kian kurus—menatap pada sesuatu di balik kaca jendela besar dihadapannya. Genta sekilas membuang muka, mendengus keras-keras dalam hati, tak sanggup untuk terus melangkah.

"Genta?"

Suara khas itu terdengar walaupun sang pemilik suara tidak sedang menatapnya. Dari tempat Genta berada, ia dapat melihat kalau perempuan itu memutar badannya, dan seketika, senyum lebar merekah di bibirnya yang terlihat pucat pasi. Dilihatnya juga kalau perempuan setengah baya itu mulai melangkah dengan bantuan tangannya sebagai penunjuk. Melihat itu, Genta dengan cepat melangkah dan menahan tubuh Saskia sebelum tubuhnya jatuh di atas lantai.

Sama sekali tidak ada penolakkan dari perempuan itu ketika Genta memindahkan tubuh Saskia di atas kursi roda yang sudah disiapkan. Sesudahnya, yang Genta lakukan hanyalah menatap wajah Ibunya lamat. Melihat bagaimana kerutan-kerutan samar yang mulai tercetak di beberapa titik membuat Genta sadar kalau Ibunya semakin tidak terurus.

Jangan lupakan soal eksistensi Saskia sebelum ia harus terperangkap di kamar seluas ini. Bagaimana pun juga, Saskia pernah mencicipi hidup mewah. Beliau merupakan golongan ibu-ibu sosialita yang konon nongkrong di suatu kafe atau restoran mahal hanya untuk arisan. Tidak lupa, bagaimana kecintaan Saskia pada tubuhnya—terlebih pada wajahnya—hingga-hingga ia rela menghabiskan belasan juta rupiah hanya untuk membiayai perawatannya demi mempercantik diri.

Sayangnya, kebahagiaan duniawi itu hanya bersifat semu. Saat ini, Saskia hanya bisa terkurung di tempat ini tanpa tahu lagi bagaimana bentuk tubuhnya yang selalu ia indah-indahkan.

"Genta, kamu kenapa nggak mampir-mampir kesini? Mama padahal selalu nungguin kamu tiap hari," sahut Saskia sambil memegang wajah Genta serupa orang yang tengah menggambar dengan gaya abstrak.

Home Is In Your Eyes (was Let Me Love You)Where stories live. Discover now