07 : Wajah Lugu Itu...

438 80 15
                                    

Genta memperhatikan sekitar kafe dengan tatapan menerawang. Hingga saat ini, tidak ada satu hal pun yang mampu membuat lelaki itu meminum kopi hitam yang sudah dipesannya sekitar satu jam yang lalu. Bahkan, kopi itu terasa mulai dingin mengingat tidak ada lagi asap yang mengepul di atasnya. Ia bahkan tidak peduli dengan harga kopi itu yang terlampau mahal bila nanti ia berubah pikiran untuk tidak meminum kopi dingin itu lagi.

"Mikirin apa, Genta?" Suara yang dibuat semanja-manjanya kontan terdengar, diikuti dengan sentuhan pelan di lengan Genta hingga mampu membuat cowok itu menjatuhkan pandangannya pada perempuan yang kini tengah duduk bergelayut mesra di lengannya.

"Bukan apa-apa," balas Genta singkat. Lelaki itu bahkan tidak menyungging seulas senyum, malahan terlihat datar. Membuat perempuan berambut ungu pudar itu mendengus keki.

"Bukan apa-apa tapi dari tadi kamu sama sekali nggak nyentuh kopi kamu. Sampai kapan sih, Gen?" Suara Sierra yang sempat meninggi berubah lagi menjadi sendu, namun tidak cukup membuat hati lelaki di sampingnya terhenyak. "Sampai kapan kita mau duduk diem-dieman kayak gini? Kalau purpose kamu ngajak aku kesini cuma untuk ini, mending nggak usah sama sekali."

"Udahlah, Ra. Ini juga gue udah nyesel ngajak lo kemari."

Sierra tersenyum kecut. Ia bahkan heran, memangnya yang salah disini siapa? Genta, bukan? Lantas, kenapa lelaki itu malah menyalahkan Sierra? Perempuan berdarah Padang itu hanya bisa mendesis pelan. Ia seharusnya sudah tahu resiko berpacaran dengan lelaki kerdus semacam Genta memang berat. Tapi apapun itu alasannya akan percuma saja. Karena sekeras apapun Sierra mencoba untuk melepaskan Genta, ia tidak akan pernah bisa. Lagipula, ini bukan kesalahan Sierra sepenuhnya. Salahkan pesona Genta yang tak tertandingi itu. Bahkan, Sierra tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh hati pada Genta saat cowok itu menyatakan perasaannya.

Sekalipun Sierra sudah tahu kalau disaat yang bersamaan, Genta memiliki dua pacar yang berbeda. Dan segera menjadi tiga dengan dirinya.

Kecanggungan diantara keduanya lantas pecah begitu suara dehaman halus dari seorang perempuan terdengar. Membuat baik Genta dan Sierra menengadah serempak dan mendapati seorang perempuan dengan rambut cokelat khasnya yang digelung manis. "Hai. Udah nunggu lama, ya?"

Menyadari kehadiran Denira disana, Genta pun buru-buru melepaskan tangan Sierra dari tangannya, tanpa mau peduli dengan tatapan Sierra yang rasanya ingin membunuhnya saat itu juga. Toh, Genta masih punya banyak stok perempuan seksi bila nanti Sierra berubah pikiran untuk memutuskan hubungan mereka. "Seengaknya gue masih cukup sabar nungguin lo."

Denira tersenyum, membuat kedua lesung pipinya yang manis nampak. Bagi Genta, senyum Denira adalah kelemahan terbesarnya. Ia bahkan bisa melupakan dunia dengan segala tetek bengeknya hanya dengan melihat senyum Denira. Segala masalahnya seakan tidak seberapa bila ia teringat akan senyum Denira yang seakan suntikan semangat untuknya. Ya. Senyum perempuan itu memang mampu menghipnotis Genta hingga bisa membuat Genta jatuh cinta berkali-kali pada perempuan bernama lengkap Denira Sajanga itu.

Namun sosok Genta Pratista cukup tahu diri saat itu untuk tidak merebut Denira dari Keenan Ananta—yang tak lain tak bukan adalah teman baiknya. Bahkan, nyaris berupa kakak-beradik sungguhan saking terlalu dekat. Ia bahkan sudah merelakan kebahagiaan Denira dengan Keenan bila itu pilihan yang terbaik. Tapi Genta salah. Itu bukan pilihan yang terbaik. Karena kalau itu memang pilihan terbaik, Denira saat ini tidak mungkin jatuh di tangan yang salah.

Bahkan setelah bertahun-tahun memendam rasanya, Genta tetap tidak ada niat untuk mengutarakan perasaannya.

"Eh?" Denira kembali bersura, membuat Genta yang sibuk tenggelam dalam imajinasinya akan sosok Denira mendadak tertampar ke dunia nyata. "Is that your girlfriend? I mean, cewek baru?"

Home Is In Your Eyes (was Let Me Love You)Where stories live. Discover now