10 : Markas Besar

345 85 14
                                    

Malam semakin larut ketika Keenan mematikan mesin mobilnya tepat di samping bangunan yang biasanya disebut markas besar. Mengunci pintu mobilnya, Keenan lantas masuk ke dalam. Seperti tidak ada yang berbeda dari tempat itu setelah terakhir Keenan datang pada dua bulan yang lalu. Aroma khas tempat itu masih mampu membuat Keenan teringat dengan bau jalanan arena balapan dan segala yang berbau otomotif.

Walaupun sudah cukup malam, tapi situasi di mabes masih terbilang ramai. Beberapa orang berlalu-lalang tepat di hadapannya dengan begitu sibuk. Seketika itu juga, Keenan tertawa dalam hati.

Ngomong-ngomong soal markas besar, itu bukan tempat kotor seperti tempat agen-agen penjual organ tubuh berada. Bukan pula tempat dimana terjadi interaksi antara pengedar narkoba dan pemakai obat-obatan tersebut. Melainkan, yang dimaksud dari markas yang didatangi Keenan saat ini adalah salah satu tempat memodifikasi mobil yang cukup terkenal di Jakarta.

"Keenan?" Dengan cepat, Keenan menoleh pada asal suara yang berdiri di sampingnya. Kedua alis cowok itu tertaut dengan gelagat membingungkan. Begitu bisa melihat wajah Keenan yang awalnya terhalang oleh topi hitam yang terpasang pada kepalanya, cowok itu menyahut, "gila! Ini lo ternyata."

Kontan saja, Keenan mendengus. Agak tertawa. Sedikit. "Arkan mana?"

"Oh, Arkan. Ada di atas." Cowok itu—Aldano, menunjuk lantai atas dengan dagu. "Mau gue anterin? Takutnya lo udah lupa cara ke atas saking lamanya lo nggak kesini."

Yang terdengar selanjutnya hanyalah gelak tawa dari Keenan. Ia menepuk pundak Aldano, lantas menyahut, "Gak bakal pernah lupa, Al." Kata Keenan, membuat Aldano balas tertawa. "Gue temuin Arkan dulu."

Setelah Aldano mengangguk, Keenan pun melangkah ke atas. Sesekali, ada beberapa orang yang menyapanya kala dia lewat, yang hanya dibalas Keenan dengan satu alis yang diangkat. Kedua kaki Keenan pun berhenti tepat di depan sebuah pintu dengan corak garis-garis gelap yang menarik. Tanpa menunggu apapun, Keenan langsung membuka gagang pintu seusai mengetuk dua kali.

Pemandangan di depannya sepertinya sudah mulai berbeda dari bulan-bulan kemarin. Walaupun sudah banyak yang berbeda, tapi tetap aja ada beberapa kesamaan dari tempat itu yang Keenan rasakan. Misalnya, ruangan dengan hak milik atas nama Arkan Ghani Randana itu masih saja menguarkan aroma khas dari pengharum ruangan kesukaan cowok itu; bau permen karet. Dan ada satu lagi hal yang masih sama dengan ruangan itu; dimana suhunya selalu terasa dingin dengan kehadiran air conditioner yang Keenan rasa tidak pernah dimatikan oleh Arkan selama berjam-jam.

Ya. Bedanya Keenan dan Arkan adalah; Keenan tidak betah untuk berlama-lama di ruangan ber-AC—terutama bila temperaturnya tinggi—sedangkan Arkan yang sangat suka dan tidak bisa tinggal tanpa hadirnya benda pendingin ruangan satu itu.

"Keenan Ananta?" Suara bariton itu mampu mengalihkan pandangan Keenan pada sosok yang berdiri di samping dengan memegang segelas air mineral di tangannya. Melihat Keenan yang menyungging senyum, Arkan lantas berkata, "Ya. Ini lo."

Keenan memperhatikan gerakkan Arkan dari tempat semula ia berdiri sampai ia duduk di sebuah kursi—tepat di bawah pendingin ruangan. "Kayaknya ini bukan di sesi interview dimana gue harus ngomong; 'dipersilahkan duduk', deh." Arkan menuding kursi di dekat Keenan yang membuat cowok itu lantas paham.

"Nggak usah. Gue cuma nggak lama," balas Keenan, membuat Arkan cukup terkejut namun pada akhirnya ia manggut-manggut. "Gue cuma mau ngomong soal balapan itu. Lo nggak lagi serius buat nyuruh anak-anak ikut, kan?"

Refleks, Arkan tersedak dengan air putihnya. Ia lalu meletakkan gelas itu di atas meja berlapis kaca, menciptakan suara kaca dengan kaca yang saling beradu. "Apa gue kelihatan sebercanda itu?" Kontan, alis Keenan saling tertaut. "Oke, gue tau lo mungkin nggak akan setuju dengan ini—maka dari itu gue nggak langsung bilang ke lo tentang balapan sama anak-anak Spectrum. Tapi asal lo tau, di balapan kali ini, peluang kita untuk menang itu banyak."

Home Is In Your Eyes (was Let Me Love You)Where stories live. Discover now