"Semua yang dia lakukan pasti ada sebabnya. Walau hanya bumi dan langit yang tahu."
Mataku melotot ke arah biang kerok satu ini. Mungkin rupaku sangat jelek waktu marah, mungkin orang-orang akan menatapku aneh, tapi aku tidak akan peduli. Kesabaranku benar-benar habis. Jika saja bisa, mungkin biang kerok satu ini sudah aku lenyapkan dari muka bumi.
"Lo gila apa tah?" Teriakanku menggelegar di lorong sekolah. Beberapa menatapku sambil mengernyit.
Biang kerok satu ini menyengir lebar tanpa merasa bersalah. Bayangkan, surat yang aku buat diam-diam, dia langsung serahkan kepada orang yang kusuka. Bayangkan! Astaga, membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.
Untung saja, tidak ada namaku di surat itu. Kalau tidak, bisa mampus aku.
"Sorry, Ta. Astaga, jangan marah-marah gitu dong. Tangan gue gatel, pengen kasihin ke orang tersayang lo itu." Aldric berkata dengan santainya. Membuatku ingin menimpuk wajahnya itu.
Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskan napas kuat-kuat. "Serah lo, deh. Ngomong juga nggak ada gunanya." Kepalaku tergeleng perlahan.
Tiba-tiba, Aldric menarik tanganku. Orang-orang di lorong sekolah terpekik tertahan. Semua penghuni sekolah memang menggila-gilai sesosok laki-laki di sebelahku. Kata mereka, Aldric tampan, pintar, kaya, walaupun tingkahnya sering usil kelewatan.
"Lo mau bawa gue ke mana sih, Dric?" Napasku terengah-engah. Dia terus saja menarikku seperti hewan peliharaan.
"Diem aja deh. Gue mau traktir lo es krim, sebagai tanda permintaan maaf gue," ucap Aldric sambil melirikku sekilas.
Mataku langsung berbinar-binar mendengarnya. "Tumben lo baik."
Aldric melepaskan tangannya ketika sudah sampai di kantin. Seperti biasa, tempat favorit penghuni sekolah ini sudah padat. Membuatku terkadang tidak suka menjamah tempat ini.
"Gue emang baik, lo nggak tahu aja." Aldric berkata seraya berjalan menuju tempat penjual es krim, aku mengekornya dari belakang.
Lalu, laki-laki bertubuh tinggi itu menyerahkan es krim rasa vanilla kepadaku. Rasa es krim yang paling kusukai. Aku langsung memakannya dengan semangat.
"Buat kali ini, lo maafin gue, kan?"
Aku mengangguk seraya menjilat es krimku. Aldric langsung tersenyum lebar, sampai gigi-giginya yang putih dan rapi terlihat. Lalu laki-laki itu berjalan ke arah teman-temannya, yang sama-sama biang kerok sepertinya.
Aku berjalan ke arah Citra yang sedari tadi sudah menunggu. Duduk di sampingnya sambil terus menjilat es krim.
"Aldric ganteng banget, ya? Beruntung banget lo, dideketin sama cowok kayak gitu." Citra tersenyum lebar, matanya melirik-lirik Aldric yang sedang tertawa lebar karena guyonan temannya.
Aku memutar bola mataku malas. "Apa sih yang ganteng dari dia, Tra? Gue beruntung? Astaga, gue nggak salah denger? Setiap hari tu dia ngegangguin gue, Tra." Aku berkata frustrasi.
Sedangkan Citra mengangkat kedua bahunya acuh. "Semua orang iri sama lo, Ta. Setiap hari mata elang mereka itu ngeliat lo sirik."
Aku mengangguk, tanda setuju dengan Citra. "Tapi lo tahu, apa yang dia lakuin tadi ke gue? Gue masih nggak nyangka sampai sekarang. Bayangin Tra... dia kasih surat gue ke Azka." Aku mengusap wajahku frustrasi.
Mata Citra melotot kaget. "Alka yang lo bilang pangeran kuda lo itu?" Lalu mendesah panjang. "Aldric lucu, ya jadi orang. Pengen gue cubit-cubitin pipinya."
Kini giliran aku yang mendesah panjang. "Azka, Tra. Azka, bukan Alka." Aku mengusap mulutku dengan tangan, setelah selesai menghabiskan satu es krim. "Lucu darimana? Ngeselin malah iya."
"Bagi lo yang ngeselin. Udah yok, keluar kantin. Si Brianda tadi dihukum gara-gara telat masuk sekolah."
Pantas saja, Brianda tidak terlihat di kantin. Biasanya, anak itu paling semangat kalau pergi ke kantin.
"Tata, mau es krim lagi, nggak? Berapapun yang lo mau, gue traktir. Apasih yang nggak buat lo. "
Teriakan itu membuatku menoleh. Aldirc menyengir lebar. Mataku menatap Aldric dengan tajam beberapa saat. Banyak mata yang melihat ke arah kami dengan penasaran, sebagian lagi menggoda kami dengan menyoraki.
Aku memutar bola mataku malas. Berjalan keluar kantin diikuti dengan Citra.
::::
Ruang kelas sedari tadi sudah sepi. Sedangkan aku masih duduk di kursi seraya menyalin catatan Biologi yang ada di papan tulis dengan tulisan cakar ayam.
Ini semua gara-gara Aldric. Dia lagi, dia lagi. Coba saja dia tidak mengagetkanku saat tidur, pasti tidak ketahuan guru. Bu Fahmi, wanita bertubuh gempal itu, menceramahiku macam-macam. Membuat telingaku berdengung kesakitan. Belum lagi, dia menyuruhku menyalin catatan dua kali lipat.
Benar-benar hari yang buruk. Pasti kakakku sudah mengoceh di bawah sana, karena aku pulang terlambat. Yang paling terburuk adalah, kalau kakakku meninggalkanku di sekolah, persis seperti setahun yang lalu.
Aku langsung membereskan buku setelah selesai menyalin. Berjalan keluar kelas sambil sibuk memasang tas di punggung. Buku Biologi ini harus kutunjukkan ke Bu Fahmi terlebih dahulu.
Langkahku terhenti ketika melihat Aldric sibuk memainkan telpon di balik pintu kelas. Laki-laki itu mengangkat kepala, saat menyadari kehadiranku.
"Sudah selesai, Ta? Ayo, pulang." Dia memasukkan telponnya ke saku celana.
Mulutku melongo heran. "Ya sudah, lo pulang sendiri aja kali." Aku kembali berjalan ke ruang guru, melewati Aldric yang masih terdiam.
"Ya pulang barengan maksud gue, dodol." Dia menyejajari langkahku.
Mataku melolot ke arahnya. Dodol? Panggilan apa itu?
"Lo bilang apa? Dodol? Gue nggak salah denger?"
Aku menginjak kakinya keras-keras dengan kekuatan baja. Membuat dia langsung meringis kesakitan.
"Gila lo, Ta. Kaki gue rasanya remuk diinjek lo."
Tawaku langsung terdengar melihat wajah Aldric yang menahan sakit. Salah dia sendiri, sih.
"Ya udah sana. Ke ruang guru dulu. Gue tunggu di tempat parkiran." Belum sempat aku menjawab, dia sudah berjalan keluar sekolah sambil menyeret kakinya yang kesakitan.
Lagi-lagi aku tertawa lepas. Lucu sekali dia itu. Eh, lucu? Sejak kapan seorang Aldric di mataku lucu?
Terserah, lah. Aku tidak peduli.
Bu Fahmi terlihat sedang duduk di meja piket. Aku langsung menunjukkan buku Biologiku. Bu Fahmi mengangguk singkat, padahal lihat saja tidak lebih dari dua detik. Kalau gitu, buat apa aku nyalin susah-susah coba.
"Ya sudah, kamu boleh pulang."
Setelah mengucapkan 'terimakasih', aku berjalan ke tempat parkir. Terlihat Aldric yang sedang berdiri di dekat mobilnya sambil mendengarkan lagu dari earphone.
"Ayo, pulang." Dia langsung masuk ke dalam mobil.
Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapa tahu ada kakakku, jadi aku tidak perlu ikut pulang dengan Aldric. Siapa yang mau sih, satu mobil dengan cowok yang paling kita benci.
Tapi hasilnya nihil. Kakakku sudah pasti langsung pergi setelah tidak melihatku di tempat parkir. Aku menghela napas lelah, terpaksa ikut dengan Aldric.
"Mau masuk, atau nggak?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, dan masuk ke dalam mobil.
:::::
KAMU SEDANG MEMBACA
About You [Telah Terbit]
Teen FictionCover by stellardustr Sebagian naskah telah dihapus. Azka; cowok sempurna di mataku. Seorang kakak kelas dengan senyum menawan yang bisa membuat semua orang menyukainya, termasuk aku. Dan tidak dapat kupungkiri, bahwa aku menyukainya pada pandangan...