"Bagiku satu detik, satu menit, satu jam itu berarti bagiku. Karena aku hanya manusia biasa yang hidup sementara."
Berdiam diri di kelas, sepertinya memang pilihan yang bagus untuk saat ini. Aku sungguh malas untuk beranjak keluar. Dan juga, ada tugas yang harus aku selesaikan, jika tidak mau kena amuk guru.
Ruangan kelas sangat sunyi. Hanya terdengar suara jarum jam yang terus berdetak tanpa bosannya. Seakan mengingatkan seluruh isi bumi, bahwa waktu akan terus berlalu.
Tanganku terus bergerak menuliskan tugas Bahasa Indonesia seraya komat-kamit melantunkan lagu 'All of Me' yang sudah aku hafal diluar kepala.
Sampai, ada suara gaduh yang membuatku menutup kedua telinga. Menatap tidak suka dua sosok orang yang sudah berdiri di dekatku.
"Ta, lo harus ikut kita orang," ucap Brianda dengan nadanya yang heboh. Tanpa persetujuanku, dia sudah menarik tanganku dan membawaku ke lantai bawah.
Aku berada di depan kantin, dengan dua orang yang kini menyeretku secara paksa. Sudah tahu aku orang yang paling tidak suka dengan keramaian.
"Ngapain, sih?" desisku jengkel.
"Lo harus ikut ke kantin. Nggak mau tahu gimana caranya. Mau terbang kek, mau pake sapu ijuk kek." Citra yang biasanya anteng mulai berkata dengan heboh. Aku memutar kedua bola mata dengan malas.
Dan dengan semangatnya jari telunjuk Citra menunjuk ke arah ujung kantin. Di sana terlihat Vindo yang badannya terkenal sangat besar, yang sering menjadi bahan bullyan teman-teman, sedang memakan satu mangkuk bakso.
Dan saat tubuh Vindo menyingkir, terpampanglah pemandangan yang membuatku seketika menahan napas. Di sana Aldric sedang makan dengan Bunga sambil bersenda gurau. Dengan lengan Aldric yang merangkul bahu Bunga.
"Terus?" ucapku pelan kepada mereka berdua. Dengan terus berusaha menampilkan ekspresi yang datar.
Brianda dan Citra menunjukkan ekspresi gemas yang terlalu kentara kepadaku. Aku membenarkan poniku yang menutupi pandangan dengan gerakan tenang. Sungguh berbeda dengan hatiku yang sudah ingin loncat-loncat.
"Mereka udah pacaran, gitu yang gue denger," pekik Brianda tertahan.
Aku meremas rokku dengan gusar. "Apa hubungannya sama gue, Bri?"
Citra menepuk jidat, dan menarikku keluar dari kantin. Seketika suara bising dari murid-murid menghilang dari pendengaran.
"Dia udah pacaran sama Bunga. Seisi sekolah udah heboh karena berita itu. Gue sih rada nggak percaya, tapi ngeliat perilaku Aldric di kantin tadi, gue jadi percaya." Citra menatapku dengan lekat beberapa detik.
"Ya terus apa hubungannya sama gue sekarang, Tra? Gue tanya, deh. Emang gue punya hubungan sama Aldric? Gue mantan pacar Aldric, gitu?" Aku menatap Citra frustrasi. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran mereka berdua ini.
"Ya nggak gitu juga, kali. Yang selama ini satu sekolah tahu, lo adalah gebetan paling terlamanya Aldric. Dan tiba-tiba aja Aldric udah pacaran gitu aja." Brianda duduk di kursi setelah mengucapkan itu.
Aku terdiam. Tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Dan yang gue yakin, lo pasti ada rasa suka dikit deh sama si Aldric itu. Apa ucapan gue bener, Ta?"
Pandangan Citra menyelidik, seakan mataku ini menyimpan sebuah rahasia besar yang ingin ia dapatkan detik ini juga. Aku dapat merasakan tubuhku menegang begitu saja, dengan mudahnya.
"Kalau gue bilang gue nggak ngerti sama hati gue sendiri, gimana? Yang gue tahu sekarang, satu-satunya cowok yang gue inginin sekarang adalah Kak Azka, Tra."
Dan setelah mengucapkan itu, bel sekolah berbunyi. Seakan-akan tahu bahwa aku ingin cepat-cepat keluar dari situasi ini.
::::
Setelah insiden kantin itu, pikiranku mendadak kosong. Bahkan pelajaran yang selama ini kusukai, mendadak berubah menjadi sangat menjengkelkan untuk didengarkan.
Aku membuang napas frustrasi. Sesosok di sampingku kini sedang sibuk mencatat penjelasan guru dengan semangatnya, tanpa ucapan jahil yang biasanya selalu dia lontarkan padaku.
Sifatnya mendadak berubah menjadi aneh, sama seperti hatiku yang mendadak menjadi aneh. Dan aku, sang pemilik hati, bahkan tidak mengerti apa yang dimau oleh hatiku.
Karena terkadang memang manusia selucu itu.
Aku meletakkan kepalaku diatas lipatan tangan saat merasakan kepalaku memberat. Ayolah, Tata, ada apa dengan dirimu ini?
"Pala lo pening?" Suara bariton itu sekarang terdengar berbeda dari biasanya. Tapi aku tidak tahu apa yang berbeda.
Aku mengangkat kepalaku. Menatapnya seraya menaikkan kedua alis. "Nggak, kok." Kepalaku perlahan tergeleng pelan.
Aldric hanya menganggukkan kepala sekilas. Kembali menatap ke arah depan dengan serius. Kalau melihatnya seserius ini, sosoknya yang usil sama sekali tidak terlihat.
Dan hal ini yang membuatku merasa bahwa Aldric sangat jauh untuk kugapai.
Aku kembali sibuk dengan rasa sakit di kepala yang mendera-dera. Berusaha mengenyahkan pikiran aneh yang mulai merayap di kepalaku.
Peduli amat dengan pelajaran. Yang aku butuhkan sekarang adalah kasur yang empuk.
Dan tanpa terasa, aku sudah tertidur di tengah pelajaran, entah untuk keberapa kalinya. Tanpa peduli bahwa aku bisa saja kena marah guru.
::::
"Ta, bangun, Ta."
Aku dapat merasakan tepukan pelan dibahu beberapa kali, ditambah dengan suara seseorang yang terus memanggil namaku.
Aku mengangkat kepala yang terasa berat. Mengerjapkan mata beberapa kali sampai penglihatanku sudah sepenuhnya kembali seperti biasa.
Terlihat Aldric sedang memandangku dengan pandangan bosan sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Kelas sudah sangat sepi. Dan aku baru tersadar bahwa aku tertidur di tengah pelajaran.
"Eh, iya, iya. Gue bangun, nih." Aku bangkit berdiri seraya membereskan alat-alat tulisku yang terbengkalai setelah merapikan rambutku yang berantakan. "Gue duluan, ya."
Saat kakiku sudah melangkah keluar, sebuah tangan menahan pundakku. "Lo bener-bener nggak, apa-apa?"
Aku menggeleng perlahan. Kepalaku sudah lebih membaik dari tadi. "Gue nggak apa-apa. Percaya deh sama gue." Aku tersenyum menyakinkan.
Aldric mengangguk beberapa kali. "Ya udah, gue pulang duluan. Hati-hati di jalan." Dia tersenyum sekilas, lalu berlalu. Meninggalkan rasa sakit yang mendalam di hatiku saat ini, entah karena apa.
Aku kembali berjalan keluar kelas. Berjalan menyusuri lorong-lorong kelas, yang terasa menghimpit tubuhku sampai aku sesak bernapas. Pusing di kepalaku yang tadinya sudah tidak terlalu buruk, sekarang malah semakin menjadi.
Aduh. Jika seperti ini, aku benar-benat tidak sanggup rasanya untuk berjalan ke gerbang sekolah saja. Setiap langkah yang aku lalui terasa sangat berat.
Aku berhenti sebentar. Memegangi kepalaku dengan tangan kiri, sementara tangan yang kanan berusaha menggapai telpon di saku rok. Tapi hasilnya nihil. Aku lupa telpon kesayangan aku itu aku taruh dimana.
Penglihatanku semakin memburuk. Bumi terasa berputar-putar dengan sangat cepat. Sampai, semuanya berubah menjadi gelap. Dan yang dapat aku rasakan, sebuah lengan menahan tubuhku.
::::
Author Note
Halo, semua!
Yang pasti, aku mengucapkan makasih banyak buat yang baca cerita ini. Dan, aku mau minta pendapat tentang kurangnya cerita ini.
Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
About You [Telah Terbit]
Teen FictionCover by stellardustr Sebagian naskah telah dihapus. Azka; cowok sempurna di mataku. Seorang kakak kelas dengan senyum menawan yang bisa membuat semua orang menyukainya, termasuk aku. Dan tidak dapat kupungkiri, bahwa aku menyukainya pada pandangan...