"Jangan terus berputar-putar di satu titik, aku lelah."
"Ta, lo nggak mau ikut pulang bareng gue, nih?" Brianda berteriak saat dirinya sudah di lahan parkir.
Dengan gerakan cepat aku menggeleng. "Nggak usah. Gue ada janji," balasku dengan sama-sama berteriak.
Brianda mengangguk, lalu menaiki motor bebeknya. "Oke. Gue duluan, ya."
Jemariku dengan gusar memainkan rokku. Kira-kira, Kak Azka ingat tidak ya dengan janjinya? Aku sudah menunggunya di sini sekitar sepuluh menit. Karena kelasnya bubar terlambat, atau karena Kak Azka lupa, aku sama sekali tidak tahu.
"Ta." Panggilan dengan suara khas itu membuatku menoleh dengan senyuman super lebar. Kak Azka menyugar rambutnya dengan gaya super cool. "Lama ya nunggu gue? Tadi ada bimbingan belajar dulu. Maaf, ya. Biasa, anak kelas tiga udah mulai sibuk sama ujian."
Kepalaku terangguk-angguk. "Santai aja kali, Kak. Yang penting kakak nggak lupa, ataupun kabur."
Mata Kak Azka menyipit karena kekehan pelannya. "Ada-ada aja lo ini. Naik deh yuk, daripada di sini terus. Nanti kemaleman pulangnya."
Aku langsung menaiki mobil berwarna putih milih Kak Azka. Aroma dari pengharum langsung dapat aku rasakan. Tanganku bergerak untuk merapikan anak rambut yang jatuh.
"Kapan ibu lo ulang tahunnya?" Aku meliriknya sekilas. Matanya menatap lurus ke depan, memperhatikan jalan yang cukup padat dengan kendaraan bermotor.
"Lusa, sih. Gue bingung mau kasih apa." Senyum tipis terbit di wajahnya, sambil menatap mata cokelatku. "Yah jadinya, gue minta temenin lo. Maaf nih, kalau ngerepotin."
"Sama sekali nggak, kok. Kan lumayan juga, buat gue cuci mata, Kak." Aku terkekeh kecil.
Kak Azka mengangguk-anggukkan kepalanya seraya tangannya bergerak untuk memutar musik. "Bener juga ucapan lo. Eh, tapi lo udah izinkan sama ibu lo?"
"Udah, kok. Tenang aja. Lo nggak akan kena marah sama ibu gue." Aku tersenyum kecil.
Lagu dari Justin Bieber mengalun pelan memenuhi indera pendengaranku. Beberapa saat, aku menikmati lagu itu. Lalu mataku melirik Kak Azka melalui ujung mata.
Rasa itu sudah hilang. Rasa saat Kak Azka berada di dekatku, ataupun ketika Kak Azka melayangkan senyuman mautnya. Dan aku sadar, bahwa hatiku sudah tergantikan oleh yang lain. Oleh--
Aldric.
::::
"Gila, Kak. Ini bagus banget." Mataku berbinar-binar saat melihat kalung berbandul hati yang cukup membuatku terkesima di toko perhiasan. "Ini aja, Kak, buat ibu kakak. Pasti bagus, deh."
Kak Azka hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikan kalung yang aku tunjuk lekat-lekat.
"Gimana, bagus, kan?"
Senyuman tipis tercetak di bibir Kak Azka. "Pilihan lo bagus, kok. Mbak, saya mau yang ini, tolong dibungkus."
Dengan cekatan, petugas toko perhiasan itu membungkusnya. Diriku masih sibuk berdecak kagum. Kalung itu terkesan sederhana tapi elegan.
"Abis ini mau kemana, nih?" Kak Azka membawa bungkusan kalung tadi seraya berjalan keluar dari toko. "Mau ke toko buku, atau makan? Kata lo tadi, ada novel yang lagi lo incar."
Aku mengetuk-ngetuk jariku ke dagu. Kemana dulu ya enaknya? Perutku sudah cukup lapar, sih. Membayangkan makanan yang lezat-lezat saja sudah membuat cacing di perutku demo.
"Makan dulu yuk, Kak. Laper." Aku menyengir lebar. Tanganku menarik pelan tangan Kak Azka ke arah salah satu restoran favoritku. Tapi gerakanku terhenti, saat tanganku yang bebas ada yang mencekal.
Aku menoleh dengan rasa penasaran yang tinggi. Mataku membelalak kaget saat melihat sesosok itu. Tubuhku mematung di tempat. Sesosok laki-laki berperawakan tinggi menjulang menatapku tajam dengan rahang mengeras.
"Ikut gue," ujarnya tanpa bisa aku bantah. Tangannya menarikku dengan sedikit kencang, membuatku mengaduh beberapa saat. Tapi dirinya tetap menarikku tanpa menoleh sedikit pun.
Saat sudah sampai di lahan parkir, Aldric berhenti menarikku. Tubuhnya berhenti, begitu pun juga denganku. Mata memandangku dengan menyiratkan kemarahan bercampur dengan kesedihan yang dalam.
Tapi, karena apa?
"Belum puas permainkan gue?" Dia tersenyum kecut. "Belum puas selama ini yang lo lakuin ke gue?"
Dahiku mengerut. "Maksud lo apa? Gue nggak ngerti yang lo omongin."
Senyuman kecutnya semakin lebar. "Nggak ngerti? Selama ini gue bingung. Lo sebenernya bener-bener nggak tahu atau cuma pura-pura." Napasnya memburu, terlihat sedang memendam amarah yang begitu besar, dan tidak tahu bagaimana cara melampiaskannya.
"Omong yang jelas, biar gue ngerti." Aku menatapnya dengan perasaan bingung.
"Apa selama ini kode yang gue beri nggak cukup buat lo? Dan bodohnya lagi, saat gue nggak mau kasih kode, gue lelah kasih kode. Dan mau omong jujur sama lo tentang perasaan gue. Gue takut. Gue takut lo bakal menghilang dari sisi gue." Nada bicaranya terdengar lirih, membuat mataku berkaca-kaca.
"Omong itu yang jelas, Dric. Gue nggak ngerti." Kepalaku tergeleng keras-keras. Sungguh, aku tidak mengerti.
"Saat lo nggak suka gue jalan sama cewek lain, lo malah enak-enakan sama Kak Azka lo itu? Dan, lo nggak pernah berpikir gimana dengan hati gue disini?" Aldric terdiam, jarinya menunjuk dadanya. "Hati gue sakit, Ta. Saat gue sadar bahwa lo nggak akan pernah membalas perasaan gue. Saat gue tahu bahwa diri gue nggak lebih dari seorang sahabat bagi lo."
Satu air mata lolos dan mengalir di pipi dinginku. "Maksud lo apa? Nggak gitu, Dric. Lo salah paham."
"Salah paham dimana? Apa nggak cukup jelas, Ta? Gue suka sama lo, Ta." Kepalaku berdenyut, bersamaan dengan jantungku yang menari-nari. "Bukan. Tapi, gue cinta sama lo, dari dulu."
"Dric--" Tanganku ingin memegang bahunya, tapi segera ia tepis. Hatiku mencelos.
"Kenapa? Lo pengen gue hapus rasa ini? Terus, lo pengen pacaran sama Kak Azka? Silakan. Biar cuma gue yang sakit di sini. Gue rela, asalkan lo bahagia." Napasnya sudah sedikit tenang. Tapi tatapan sedih dan kecewa tidak dapat ia sembunyikan.
"Nggak gitu, Dric. Nggak gitu." Air mataku banjir. Dadaku terasa sungguh nyeri. Bukan ini yang aku inginkan.
Aldric mundur beberapa langkah. "Apapun bisa gue lakukan buat lo, termasuk menghilang demi kebahagiaan lo."
Air mataku semakin deras. Aku jatuh terduduk, bersamaan dengan punggung Aldric yang semakin jauh. Aku sungguh tidak ingin Aldric menghilang. Aldric menghilang itu juga berarti duniaku seakan berakhir.
"Dric, gue juga suka sama lo." Aku berucap dengan lirih. Tapi sudah terlambat, Aldric tidak mendengar suaraku lagi.
Apa ini akhir dari semuanya? Bahwa cerita cintaku tidak akan berakhir dengan bahagia?
::::
Oke. Cerita buat part ini sampai di sini dulu. Semoga kalian nggak bosen sama cerita ini. Hehehehe.
Goodbye! Sampai di part selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About You [Telah Terbit]
Teen FictionCover by stellardustr Sebagian naskah telah dihapus. Azka; cowok sempurna di mataku. Seorang kakak kelas dengan senyum menawan yang bisa membuat semua orang menyukainya, termasuk aku. Dan tidak dapat kupungkiri, bahwa aku menyukainya pada pandangan...