About You::06

96 9 2
                                    

"Terimakasih pada rasa cinta. Yang telah mengajarkanku apa arti rasa sakit."


Aku dapat merasakan sebuah tangan menyentuh keningku. Ditambah dengan gumaman seseorang yang terasa mengganggu di telinga.

Mataku mengerjap-ngerjap berkali-kali. Terbelalak begitu mengetahui ada seseorang di sebelahku yang sedang menatapku lamat-lamat. Tapi seseorang itu lekas-lekas membuang muka setelah menyadari bahwa diriku sudah bangun.

"Kok lo ada di kamar gue?" ucapku beberapa detik kemudian setelah menormalkan detak jantung yang terus berpacu dengan cepat.

Bayangkan saja, baru bangun tidur, terus ada seorang laki-laki yang jarak wajahnya sangat dekat denganku.

"Seharusnya, lo bilang gini, 'makasih Dric, udah nolongin gue'. Bukannya malah ngomong gitu." Bibir Aldric maju beberapa centi saat mengucapkannya.

Aku tergelak kecil melihat tingkahnya yang terlalu kekanak-kanakan. Lucu sekali dia.

"Emangnya kapan lo nolongin gue?" Mataku menyapu sekeliling. Ini kamarku. Seingatku, tadi aku tertidur di kelas, lalu aku tidak mengingat apa-apa lagi.

"Apa kepala lo kebentur sesuatu sampai amnesia dadakan? Lo hampir pingsan tadi. Lo pasti belum makan, kan? Sering banget deh ya kelakuan lo yang itu. Lo nggak tahu bahwa gue khawatir tadi?"

Mataku mengerjap beberapa kali saat dia mengomel tidak ada hentinya. Pingsan? Ah, iya, memang aku tadi belum sempat memakan apapun dari tadi pagi. Khawatir? Bukannya dia hanya khawatir dengan yang namanya Bunga?

Aku membuang muka ke arah samping. Sangat enggan melihat wajah Aldric yang kata orang-orang tampan.

"Lo ngambek sama gue? Ya ampun Ta, seharusnya gue yang ngambek, gue yang marah, bukannya lo." Aku dapat mendengar nada frustrasi di setiap kata-katanya. Aku tidak peduli.

"Ya udah. Lo tinggal keluar kok dari sini. Pulang ke rumah, nggak perlu di sini." Aku berkata dingin, tanpa mengalihkan pandanganku dari jendela besar di kamar yang sengaja dibiarkan terbuka.

Aku dapat mendengar suara langkah kaki menjauh. Berarti Aldric sudah pergi. Aku menarik selimut sampai menutupi hampir seluruh tubuhku. Rasanya mataku memanas, entah karena apa.

"Lo harus makan sekarang."

Saat suara itu terdengar, dengan cepat aku membuka selimut. Terdiam beberapa detik saat melihat Aldric membawa semangkuk bubur. Ternyata dugaanku salah besar.

"Lo nggak pergi?" Aku merubah posisiku menjadi duduk. Menatap semangkuk bubur di tangan Aldric penuh minat.

"Gue nggak akan biarin lo sendirian di sini, asal lo tahu itu." Senyuman tipis terbit di bibir Aldric, membuatku terperangah beberapa saat.

Tunggu. Mengapa jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya? Apakah ada sesuatu yang bermasalah dengan jantungku?

Mata hitam pekat Aldric tetap menatapku dengan intens sejak tadi. Aku berdeham, berusaha menetralkan rasa canggung yang ada.

"Gue mau makan buburnya."

Aldric dengan sigap menyuapkan sesendok bubur yang langsung aku terima dengan senang hati. Sembari mengunyah bubur, aku menatap wajah Aldric dengan saksama.

"Ada apa dengan wajah gue?" Ada jeda beberapa saat. "Apa wajah gue setampan itu untuk dilihat?" tanyanya dengan nada sombong.

Aku membuang muka dengan wajah yang aku yakini sudah semerah tomat. Mengapa ia sangat percaya diri sekali?

"Pede lo itu ketinggian," desisku jengkel. Aldric tersenyum miring, hingga aku ingin sekali mencakar-cakar wajahnya.

"Sekarang lo makan aja deh. Untung tadi ada gue, kalau nggak? Mau lo digendong sama pak satpam?"

Aku menabok lengannya dengan kencang seraya melotot ke arah laki-laki itu.

"Omongan lo itu dijaga, ya. Emangnya gue juga mau diselamatin sama lo." Bibirku tertarik ke bawah, sedangkan Aldric tertawa renyah.

"Lo tahu, anak satu sekolah itu berharap bisa deket sama gue. Sedangkan lo? Kayaknya lo benci banget sama gue." Aldric berucap sambil kembali menyendokkan bubur.

"Gue sama orang lain ya beda, lah. Gue ya gue."

Setelah aku mengucapkan itu, Aldric mengucapkan kata-kata yang tidak dapat sepenuhnya tertangkap oleh telingaku. Aku yakin pendengaranku bermasalah.

"Itu yang gue suka dari lo."

Aldric berusaha tidak menatap mataku. Yang dia lakukan hanya menunduk menatapi bubur yang ia pegang. Sedangkan aku tertegun di tempat. Tidak yakin dengan pendengaranku sendiri.

Sampai, suasana canggung itu lenyap oleh suara telponku yang berdering di tengah kesunyian. Tanganku segera bergerak untuk mengambil benda yang berdering itu.

Aku meneguk air ludahku dengan susah payah saat melihat nama Kak Azka tertulis di telpon. Dapat kurasakan Aldric sedang melirikku penuh penasaran.

"Halo, Kak." Jemariku sibuk memainkan selimut berwarna merah muda untuk merendam rasa gugup yang tiba-tiba melanda hatiku.

"Kita jadi berangkat, kan? Lo sudah siap-siap?" Terdengar suara Kak Azka dari seberang sana. Mendengarnya, aku langsung melompat dari kasur. Aku benar-benar lupa dengan perjanjian itu.

"Iya Kak, jadi kok." Aku segera membuka lemari bajuku untuk memilih apa yang aku gunakan nanti.

"Oke. Nanti gue jemput sebentar lagi."

Lalu, sambungan pun terputus. Aku mengembuskan napas lega. Tanganku bergerak mencari pakaian yang akan aku pakai nanti.

"Lo mau pergi, sekarang?" Suara Aldric terasa sangat dekat.

Benar saja, saat aku menengok ke belakang, Aldric tepat di belakangku. Dia menaikkan alisnya. Menatapku dengan tatapan tidak biasanya.

"Bareng siapa? Jangan-jangan sama si Azka-Azka itu?" Suaranya meninggi, membuatku sedikit terkejut. Bagai robot, aku mengangguk. Mata Aldric berkilat marah. "Lo gila, apa?! Lo itu lagi sakit, dan sekarang lo mau pergi?"

Aku meremas bajuku. Tidak pernah aku lihat Aldric yang seperti ini. Aku seperti melihat sosok Aldric yang lain. "Gue-" ucapanku terputus begitu saja. Aku tidak mampu mengucapkan apapun lagi. Menatap Aldric saja aku tidak bisa.

"Lo nggak boleh pergi. Lo jangan gila, deh. Kalau lo kenapa-napa gimana? Sini, telpon lo. Kasih gue." Tangannya menjulur ke arahku, meminta telpon yang sedang aku pegang sekarang.

Pegangan pada telponku mengerat. Bimbang antara memberinya atau tidak. Akhirnya, dengan ragu, aku menyerahkan telponku ke Aldric.

Dengan cepat, laki-laki yang masih memakai seragam itu mengetikkan sesuatu di telponku. Lalu menyerahkan lagi kepadaku.

"Gue bilang sama si Azka-Azka itu, lo nggak bisa pergi, ada urusan mendadak." Tatapan tajamnya sangat menusuk. "Lo sekarang istirahat, gue juga mau pulang."

Aldric bergerak mengambil tasnya yang dia letakkan di meja belajar. Lalu berjalan melewatiku. Tapi dia berhenti saat tangannya bergerak menyentuh kenop pintu.

"Jangan sakit lagi. Maafin gue, tadi udah kasar sama lo. Kalau tentang batalin acara 'kencan' lo sama cowok itu, gue sama sekali nggak mau minta maaf. Karena itu yang gue inginin."

Aku tidak mampu melihat wajah Aldric, karena lelaki itu membelakangiku. Beberapa detik sama-sama terdiam, Aldric keluar dari kamarku.

Aku terpekur di tempat. Apa maksud kata-kata Aldric tadi?

::::

About You [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang