LANDO membuang napas kasarnya lewat mulut, meneriakkan apa yang baru saja menyesakkan dadanya. Pemuda itu jatuh terduduk di bangku yang beberapa menit lalu ditempati oleh Vela. Ia menopang siku di atas lutut, meremas rambutnya frustrasi. Bukan ini yang dia mau.
Zevano Orlando tersenyum miring mengingat perkataan Vela yang mengatakan bahwa dia jenius. Oke, Lando memang bisa dibilang jenius di bidang akademik. Sekali baca, sekali dengar dan dia akan mengingatnya. Tetapi, tidak dalam bidang sosial. Jika ada kata lebih rendah dari idiot, maka kata itu yang akan Lando gunakan untuk menilai kemampuannya dalam berhubungan dengan orang lain.
"Gue juga bukan Pangeran. Gue bukan jenius, gue lebih bodoh dari bodoh," gumam Lando menjambak rambutnya sendiri. Rasanya semua ini lebih membuatnya merasa tidak suka ketimbang apa yang terjadi di Blue Heaven siang tadi.
Lando tersentak mendengar Vela menumpahkan begitu banyak kata yang tak pernah mau dia dengar. Vela tidak menyukainya. Kalimat itu berhasil mencabik hati Lando dan membuatnya sesak.
"Gue nggak mau sahabat gue benci sama lo."
Lando terus berbicara tak peduli dengan kenyataan bahwa hanya ada dia di taman ini. Tidak mustahil Lando akan benar-benar gila jika terus seperti ini.
"Kenapa sih peringkat penting banget buat lo?" seru Lando kesal. Mengingat Vela yang terus-terusan belajar, bahkan saat makan membuat Lando mendengus.
"Gue bener-bener nggak ngerti!"
♣♣♣
Bukannya kembali ke asrama, Vela justru pergi ke sekolah. Gadis itu naik ke atap gedung sekolahnya. Setelah memastikan bahwa hanya ada dia di tempat itu, Vela mengeluarkan air mata yang sejak tadi ia tahan.
Dia menyesal sudah mengatakan semua hal itu pada Lando. Lalu, bagaimana nasibnya sekarang? Bagaiamana dia harus bersikap di depan pemuda itu mulai sekarang?
Vela benar-benar merasa bodoh. Tanpa sadar dia telah membuka topengnya sendiri. Setelah ini pemuda itu pasti menganggapnya sebagai gadis bodoh, menyedihkan yang patut dikasihani. Tempo hari Obi yang mengetahui rahasianya, sekarang Lando. Lalu besok siapa? Leya?
"Cih, kalo bisa besok gue bikin dia lebih malu lagi."
Vela mendecih tak suka mengingat gadis itu. Dia tidak menyesal sudah membeberkan pengakuan Leya pada anak-anak. Masa bodoh dengan hal itu, Leya bukan temannya. Meskipun teman sepertinya Vela tak peduli karena orang itu telah mengusiknya.
Cukup lama Vela berdiam diri di tempat itu. Bersandar pada bangku panjang yang ada di sana dan menengadahkan kepalanya menatap langit malam yang selalu menyenangkan untuknya walau ada atau tidak ada bintang.
Ponselnya berbunyi, tetapi dia abaikan. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh lima, itu berarti lima menit lagi Penjaga Asrama akan memeriksa setiap kamar. Jadi, sudah dapat Vela tebak pesan dan panggilan di ponselnya pasti dari Lita yang memintanya untuk segera kembali ke kamar.
Tetapi, Vela tetaplah Vela. Gadis itu memilih untuk tidak peduli. Paling panggilan wali lagi, batinnya. Toh besok Tante Hera juga akan datang jadi sekalian saja. Malam ini dia benar-benar malas bertatap muka dengan penghuni kamarnya yang lain, kecuali Lita.
♣♣♣
Hampir jam sepuluh tepat dan Lando baru beranjak dari bangku taman. Lando tahu akan mendapat masalah lagi, tetapi dia tak peduli. Jika prestasi belum dapat membuatnya terlihat, maka mungkin dengan membuat banyak masalah justru akan menarik perhatian kedua orang itu.
Mungkin dia akan dimaki habis-habisan seperti; tidak berguna, bikin malu nama keluarga, atau apalah dia tidak peduli. Tetapi, paling tidak hal itu akan membuat mereka terlibat dalam sebuah obrolan.