RAUT cemas terlihat di wajah Vela sesaat setelah menutup pintu mobilnya. Gadis itu masih bergeming di sisi benda hitam itu dan menghela napas panjang. Sekolahnya terlihat lebih ramai dari hari biasa. Tentu saja karena ini masih minggu bebas sebelum pengumuman nilai. Jadi, tidak heran jika dia dapat melihat beberapa anak berkeliaran di halaman sekolah.
"Mau saya antar sampai ke dalam, Non?"
Vela menggeleng sebagai jawaban dari tawaran sopir yang pagi ini mengantarkannya ke sekolah--tanpa sepengetahuan Jessica tentu saja. Vela memang pergi tanpa izin. Jessica dan Yulia sudah pergi ke kantor sejak pagi. Perempuan itu memberi instruksi agar Vela masuk saat semester baru, namun dia memilih untuk membangkang. Vela tidak akan bersembunyi.
Setelah meminta sopirnya untuk pulang dan merahasiakan apa yang Vela lakukan, gadis yang hari ini memilih mengenakan kardigan berwarna baby blue--selaras dengan sepatunya--itu melangkahkan kakinya ke arah gerbang.
Meski sudah dibantu dengan kruk, langkah Vela masih agak tertatih dan lambat. Namun, hal tersebut tak akan membuat Vela menundukkan kepala. Dia tidak akan membiarkan dirinya terlihat menyedihkan karena keadaannya sekarang.
Sampai di depan tangga Vela kembali menghela napas panjang sebelum menginjakkan kakinya, menaiki undakan itu satu per satu. Sebelumnya dia tidak begitu peduli dengan sekolahnya yang mempunyai banyak tangga. Namun, sekarang rasanya Vela ingin mengumpati orang yang mendesain bangunan ini.
Dapat Vela rasakan saat ini sudah ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya, namun tak ia pedulikan. Tatapan orang-orang terus mengikuti Vela bahkan sampai ia tiba di lorong kelas--yang sialnya tidak dalam suasana sepi. Namun, sejauh ini belum ada cibiran atau sekadar sapaan yang sampai ke telinganya. Mereka hanya menatapnya dengan sorot mata yang Vela benci. Tetapi, tipikal Vela. Dia tidak akan bereaksi jika tak ada yang mengusiknya.
"Eh, jadi bener waktu itu si Vela cedera?"
"Liat-liat, pake tongkat masa? Dia jadi cacat?"
Keadaan mulai berubah saat Vela berada di koridor lantai angkatannya. Beberapa anak mulai mengomentarinya. Bahkan, ada anak yang sengaja melongokkan kepala dari dalam kelas. Tangan Vela terkepal di samping tubuhnya. Bibirnya menipis, gerahamnya beradu menahan amarah. Sekarang sepertinya dia sudah resmi menjadi tontonan.
"Eh, Vela? Masih idup lo?"
Vela menghentikan langkahnya, menoleh ke sumber suara. Gadis itu tersenyum miring melihat teman sekelasnya yang sepertinya baru keluar dari kamar mandi.
"Sure," balas Vela tenang. Dia memperbarui senyumannya. "Lo kira gue bakal mati segampang itu?"
Semakin banyak anak yang berkumpul di koridor. Vela juga kurang tahu datang dari mana anak-anak itu. Tetapi, yang pasti sekarang Vela merasa sedikit gerah. Sorot matanya yang tadi terlihat malas sekarang menajam ketika Iyan melangkah mendekat ke arahnya.
"Wih, lo punya tongkat baru, Vel?" ucap Iyan dengan mata berbinar menatap kruk yang Vela gunakan untuk menyangga kaki kirinya.
Mata Vela memutar malas mendengar pertanyaan itu. Dia belum bereaksi apa-apa bahkan saat Iyan menarik tongkatnya hingga membuat keseimbangannya sedikit terganggu.
"Gue pinjem dulu ya," kata Iyan seraya melemparkan tongkat milik Vela pada teman-temannya.
Vela yang melihat kelakuan Iyan dan teman-temannya mendengus kesal. Gadis itu bersedekap dada.
"Kekanakan banget cara lo," cibir Vela yang membuat Iyan dan teman-temannya menghentikan tawa mereka.
"Lo masih sombong aja ya?" sinis Iyan menatap Vela yang sudah memasang wajah angkuh. Dengan kesal pemuda itu menolak bahu Vela hingga gadis itu mundur satu langkah dan tersungkur setelah sentuhan yang kedua.