BAB III

2.4K 229 22
                                    

'Dugh'

'Dugh'

VELA mengatur napasnya yang terengah. Matanya menatap nyalang ring yang berada tiga meter di depannya. Bulir keringat sudah memenuhi dahi dan pelipisnya. Seragamnya sudah kusut dan basah oleh keringat. Dasinya sudah ia buang entah ke mana. Vela melirik bola oren di tangannya, kemudian menatap ring di depannya sebelum akhirnya dia kembali berlari.

'Citt'

'Dugh'

Suara gesekan sepatu dengan lantai dan suara dentuman bola yang ia bawa menggema di ruangan ini. Ruangan yang hanya ada dia di dalamnya dan bangku-bangku kosong yang selalu penuh jika ada pertandingan.

Beberapa langkah lagi dan Vela tepat berada di bawah ring. Vela memasang kuda-kuda dan siap untuk melompat. Ia membawa bola ke atas kepala dan siap untuk menembaknya. Vela melakukan lompatan hingga kakinya benar-benar lurus. Dengan dorongan penuh bola itu sudah melambung di udara dan sebelum kedua kaki Vela kembali menginjak tanah bola itu sudah terlebih dahulu masuk ke dalam ring.

"Yatta!" seru Vela senang seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Bola tadi adalah tembakan kelima puluh yang telah berhasil Vela masukan dalam jangka waktu lima belas menit. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik lari mengelilingi lapangan basket ini. Memang indoor, tetapi tetap saja berhasil membuatnya berkeringat sebanyak ini.

Sekali lagi, Vela mendribel bola oren di tangannya. Sejauh ini satu-satunya hal yang dapat meredam amarahnya adalah basket. Dengan bermain basket emosinya menguap bersama dengan semua bola yang berhasil dia masukkan.

"Yes!"

Sekali lagi Vela bersorak girang. Bibirnya melengkung membuat senyuman yang selama ini belum pernah ia perlihatkan pada siapa pun.

Vela mencintai basket sejak pertama kali ia menyentuh dan mendribel bola berwarna oren itu. Sekuat tenaga dia berlatih untuk dapat menguasai dan ahli dalam sesuatu yang ia sukai dan seperti kata pepatah bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati proses. Vela berhasil mendapatkan yang ia mau. Usahanya telah memperlihatkan hasil. Vela yang memang sudah memiliki bakat terus mengasah hal itu hingga akhirnya dia bisa berdiri di tengah lapangan sebagai salah satu anggota grup utama sekolahnya dan menjadi salah satu pemain nasional yang tidak boleh diremehkan.

Semua orang tahu itu. Vela yang emosional di sekolah tidak akan kalian lihat saat gadis itu berada di lapangan. Saat bertanding hanya ada Vela yang dingin dan garang di lapangan. Dia tidak pernah menggunakan kekerasaan sedikit pun dalam basket. Karena Vela tahu konsekuensi yang akan didapat jika melakukan hal itu. Dia akan merusak sesuatu yang ia sukai.

"Gue tahu itu pasti elo."

Vela menghentikan dribbling-nya mendengar suara itu. Ia tersenyum miring dan memainkan bola di tangannya. Dia akan memberi pelajaran pada pemuda itu.

'Dugh'

Tanpa aba-aba Vela melemparkan bola itu dengan keras hingga membuat pemuda tersebut kaget dan refleks menahannya supaya tidak menghamtam dada.

Vela menyeringai saat mendapati pemuda itu dapat menerima operannya. "Cepet juga reflek lo?"

Pemuda itu terkekeh dan berjalan ke tengah lapangan di mana Vela berdiri seraya mendribel bola di tangan kirinya.

"Mau ditaruh di mana muka gue kalo seorang pemain nasional nggak bisa nangkep pass kayak gitu?" katanya dengan raut muka yang menjengkelkan di mata Vela.

"Sebenernya agak sakit sih," tambah pemuda itu dengan gumaman kecil yang masih bisa ditangkap oleh indra pendengaran Vela.

Vela tertawa mengejek dan merebut bola dari tangan pemuda itu. "Sampai kapan lo nggak mau ngakuin kalo gue lebih kuat dari lo, hm?"

Fly Away ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang