"Assalamu'alaikum."
Nasya mengetuk pintu rumah Vidi yang sudah ia anggap seperti rumah sendiri. Sesosok perempuan berkepala empat itu muncul dari dalam rumah.
"Yaampun, Nasya. Kamu kemana aja? Vidi uring uringan tuh di dalem nungguin kamu pulang."
Nasya hanya dapat tersenyum sopan. "Hehehe, iya nih Bunda. Tadi Nasya nungguin taksi gak dapet dapet. Akhirnya aku pulang sama temen ku, deh. Kenalin, Bunda, namanya Adrian."
Adrian tersenyum pelan sambil menyalami Mamanya Vidi yang biasa dipanggil bunda oleh Nasya.
"Malam, Tante. Maaf ya saya telat pulangin Nasya. Tadi di jalan macet banget." Ucapnya dengan sangat sopan.
Nasya bergidik geli. Bisa bisanya Adrian bersikap sangat manis di depan Bunda padahal tadi pagi ia dibuat nik darah karenanya.
"Ohh, gak papa. Kamu pacarnya Nasya, ya?"
Nasya yang mendengar omongan Bunda itu langsung menyenggol siku Bunda nya.
"Bunda, apaan sih ih. Nanyanya kok aneh gitu." Gerutunya.
"Ih, kenapa, sih. Kan bagus dong. Tandanya kamu udah gede, gak perlu diintilin Vidi terus."
Adrian tertawa kecil mendengar ucapan Bunda. Mulutnya terkatup sesaat, memikirkan jawaban yang akan dilontarkannya.
"Insya Allah, tante. Doain aja, ya."
Sontak, pipi Nasya langsung memerah saat mendengarnya. Derai tawa yang begitu kencang pun menyadarkan Vidi jika Nasya sudah pulang. Pria itu berjalan menuju ruang tamu yang terdengar sangat ramai.
"Nasya, lo kemana aja sih? Gue panik tau nyariin lo."
Ditariknya Nasya kedalam dekapan pria itu.
"Apaan sih, Vid. Kayak gue ilang bertahun tahun aja."
Vidi tidak menanggapi ucapan Nasya. Pandangannya kini tertuju pada pria yang tengah asik mengobrol dengan Mamanya.
"Siapa?" Tanya Vidi, hanya dengan gerakan mulut tanpa mengeluarkan suara.
"Temen gue. Yang tadi pagi gue ceritain."
Kini, Vidi dan Adrian saling menatap. Adrian dapat menemukan rasa ketidaksukaan Vidi terhadap dirinya. Namun, pria itu hanya tersenyum kecil tanpa mempermasalahkannya.
"Tante tinggal dulu ya, Adrian. Kamu ngobrol sama Vidi dulu tuh."
Tepat setelah Mama Vidi izin pergi ke dapur, Adrian menghampiri Vidi yang masih berdiri menatapnya.
"Udah berapa lama lo kenal Nasya?" Tanya Vidi dengan tatapan mengintimidasi.
"Sejak SMP. Kenapa?" Adrian bertanya balik kepada Vidi namun tetap terlihat sangat santai.
"Jangan nyakitin Nasya. Sampe lo nyakitin dia, nyawa lo di tangan gue."
Adrian tertawa renyah mendengarnya. Di sisi lain, Vidi hanya tersenyum kecut, merasa jika ancamannya tidak terlalu dipedulikan oleh Adrian.
"Vidi... Vidi. Harusnya gue yang bilang kayak gitu ke lo. Lo tau gak, tadi dia nyaris pulang sendirian jalan kaki sampe ke rumah. Untung aja gue ngeliat dia di trotoar. Dan sialnya lagi, asma dia kambuh dan dia gak bawa obat. Gimana? Lo tega liat dia kayak gitu? Ha."
Tepat setelah mengucapkan kalimat yang cukup panjang itu, Adrian keluar dari rumah Vidi. Ia menyalakan mobil merahnya itu dan langsung menancap gas kencang kencang.
"Ada ya orang sebego lo, Vid." Gumamnya sambil tersenyum penuh kemenangan.
****
"Sya, gue boleh masuk?" Ucap Vidi di depan pintu kamar Nasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Planes
Teen Fiction"Vid, are we friends? Or are we more?" Vidi menarik nafas dalam dalam saat sebuah serangan yang dilontarkan Nasya secara tiba tiba mendarat tepat dihatinya. Kalimat itu benar benar menohoknya. "Gue gak pernah tau sebenernya kita berdua itu 'apa'. Ta...