8. Titik Awal Kehancuran

22 7 5
                                    

Hari senin, tidak ada upacara, dan tidak adanya guru yang mengajar di jam pertama benar benar surga dunia bagi seluruh murid SMA. Begitu pula dengan siswa kelas XII MIPA 3 dan XII MIPA 4 Global Internasional School. Beberapa murid pentolan dari kedua kelas itu kini sedang berkumpul membentuk lingkaran besar di selasar kelas. Mereka sedang asik bermain truth or dare, termasuk Vidi, Nasya, Dira, Rey, Adrian, Shaidan dan Tata. Dan jangan lupakan Vanessa si penguntit seorang Vidi Syahdan.

Seorang perempuan memutar sebuah botol plastik yang sialnya berhenti tepat mengarah kepada Vidi. Sejalan dengan itu, terdengar teriakan gembira dari nyaris semua orang di lingkaran tersebut karena sejak tadi hanya Vidi lah yang belum mendapat bagiannya.

"Hai, Vidi ku sayang. Trurh or dare nih? Dare aja lah! Masa iya sih si Pangeran Es XII MIPA 3 yang paling ganteng, paling cool, paling sering diteriakin cewe cewe gak berani ngambil dare." Ejekan Farhan itu benar benar membuat Vidi malu. Semua orang kini tertawa kencang mendengar candaan itu.

"Yayaya. Dare deh. Tapi gue gak mau yang macem macem ya." Ancamnya.

Lalu, hampir semua anak disitu mulai berbisik bisik. Mereka saling memberikan tatapan aneh yang membuat Vidi semakin bingung. Belum lagi cengiran lebar yang terpampang di wajah Farhan membuatnya benar benar curiga. Mulut Vidi hanya bisa komat kamit sambil merapalkan doa.

"Ah, gue tau!" Teriak seseorang di ujung sana. Wajahnya terbenam diantara tubuh siswa siswi disitu. Namun, tanpa perlu dicari tahu pun semua orang tahu jika itu adalah suara Akillah.

"Apa?" Vidi membuka mulutnya lebar lebar tanpa mengeluarkan suara.

"Gue mau lo cium orang yang paling lo sayang disini. Cium bibir ya, gak mau cium pipi. Gece, mumpung guru guru lagi pada rapat nih. Gimana, Vidi Syahdan?"

Vidi membeku di tempat. Disisi lain, Nasya hanya ikut tertawa kecil mendengarnya. Ia penasaran dengan siapa yang akan Vidi cium nanti. Dan tanpa ragu pun ia tahu jika Vanessa yang akan mendapatkannya.

"Heh! Gila lo ya!?" Jerit Vidi. Pria itu sangat menyesal sudah menerima ajakan—lebih tepatnya paksaan Nasya untuk mengikuti permainan gila ini. Bisa kaget semua orang disini jika dirinya tiba tiba mencium bibir Nasya.

"Alhamdulillah, sehat. Cepet ah, gak nerima penolakan."

Dengan terpaksa, Vidi pun bangkit dari duduknya dengan gaya yang sok cool. Padahal, nyatanya ia deg degan setengah mati. Pria itu berjalan mendekati Vanessa yang duduk tepat disamping Nasya. Ia mengedipkan sebelah matanya, membuat perempuan itu berbunga bunga.

"Cium! Cium! Cium!"

Sorak sorai teman temannya terdengar jelas di kupingnya, dan itu benar benar membuatnya pusing setengah mati.

Disamping itu, Nasya hanya dapat menunduk. Matanya ia pejamkan, dengan maksud tidak ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Sayangnya, saat perempuan itu sedang menelungkupkan wajahnya, seseorang justru mengangkat wajah perempuan itu dan mengecup bibirnya sekilas. Semua orang disitu dibuat terbelalak karenanya.

Ciuman itu hanya berlangsung tiga detik, namun memberikan efek yang cukup dahsyat bagi Nasya. Tubuh perempuan itu bergetar hebat karena kaget setengah mati. Air matanya tiba tiba turun yang ia bahkan tidak tahu darimana jatuhnya. Ia menarik pergelangan tangan orang yang mengecup bibirnya tadi dengan kencang.

"Kenapa, Sya? Gu—"

Plak.

Vidi bisa merasakan pipinya memanas. Bahkan, sudut bibirnya berdarah karena tamparan Nasya yang benar benar penuh emosi. Jelas, semua orang bisa melihat kilatan amarah berkobar dari kedua bola mata Nasya.

"Lo ..."

Perempuan itu meletakkan jari telunjuknya tepat satu senti dari wajah Vidi. Sedangkan, tangan kirinya meremas kencang ujung seragamnya. Suaranya tercekat seperti kehabisan nafas.

"Brengsek."

Vidi tidak tahu jika Nasya malu setengah mati. Vidi tidak tahu jika perempuan itu merasa seperti orang bermuka dua. Vidi tidak tahu jika diujung sana Vanessa mendongakkan kepalanya, menjaga agar air matanya tidak jatuh. Yang Vidi tahu, ia menyayangi Nasya. Cukup satu fakta itu yang ia tanamkan di otak.

"Nasya! Lo mau kemana!?" Panggil Vidi yang melihat Nasya sedang berjalan cepat melewati orang orang yang menatapnya aneh. Vidi pun dengan tanggap langsung menyusul perempuan itu. Sayangnya, Nasya justru masuk ke dalam toilet wanita yang membuat Vidi mati kutu.

"Dia kenapa, sih?"

****

"Gimana rasanya abis nyium orang malah ditinggal gitu aja, boss ku?" Ejek Rey. Vidi yang benar benar sedang emosi dengan kepergian Nasya yang entah kemana, justru membuatnya menarik kerah seragam Rey sambil menatapnya dengan intens.

"Maksud lo apa, hah?"

Rey justru tertawa kecil melihat Vidi yang berapi api. Ia berusaha melepaskan tangan Vidi dari kerah seragamnya lalu menepuk pundak pria itu sambil tetap tertawa.

"Santai, bro. Gue cuma mau ngasih tau nih, ya. Lo itu jadi cowo jangan brengsek brengsek amat dong. Awalnya nyamperin Vanessa, godain dia segala macem. Eh, gak taunya malah Nasya yang dicium. Situ waras?"

Vidi mulai tersulut emosi lagi saat mendengar ucapan sarkas yang dikeluarkan Rey.

"Mau lo apa sih? Lo mau bela Vanessa? Lo mau deket sama dia? Ambil aja lah sana. Mau lo bawa dia ke hotel juga gue gak peduli."

Tanpa disangka, satu tonjokan dilayangkan Rey ke pipi Vidi. Lagi, bibir pria itu mengeluarkan darah segarnya. Ia hanya meringis tanpa ingin membalas, mengingat ucapannya tadi memang cukup kasar.

"Rey, udah, Rey. Jangan gitu. Dia temen lo." Dira dan Vanessa yang sedang menyaksikan tingkah keduanya mencoba melerai. Mereka menahan tangan kanan Rey agar tidak menonjok Vidi lagi.

"Biarin! Biar si brengsek ini tau diri! Emangnya lo gak pernah nyadar ya, selama ini gue ngejar ngejar Vanessa, deketin dia mati matian, eh gak taunya di malah suka sama lo. Dan dengan begonya lo malah mainin dia. Gitu, tuh yang namanya cowo idaman cewe cewe disini? Iya!?" Lagi dan lagi, Rey menjatuhkan kepalan tangannya ke pipi Vidi. Kali ini, pipi kiri Vidi yang jadi korbannya.

"Van?"

Vidi melirik ke arah Vanessa. Bisa ia lihat jika perempuan itu sedang menundukkan kepala.

"Vanessa."

Panggilan itu ia ulang kembali. Yang dipanggil justru tidak menyahut sama sekali. Jangankan menyahut, melirik saja pun tidak.

"Van, bener yang dibilang Rey tadi?"

Hening. Sampai dua menit pun tidak ada jawaban dari bibir Vanessa.

"Vanessa! Jawab gue!"

Vidi menarik Vanessa dengan kasar. Tangan kanannya masih melingkar di pergelangan tangan perempuan itu dengan amat kencang, membuatnya meringis kesakitan.

"Iya! Gue emang suka sama lo! Gue sayang sama lo! Kenapa? Lo keganggu? Emang salah kalo gue sayang sama lo?"

Vanessa yang sudah gerah dengan semua drama gila ini memutuskan untuk meninggalkan ketiga orang tersebut. Lalu, Dira dan Rey berlari mengejar Vanessa, meninggalkan Vidi sendirian di kelas. Ia bisa melihat beberapa pasang mata menonton kejadian tadi melalui kaca jendela.

"Apa lo liat liat!?"

Dengan gila, ia melemparkan sebuah penghapus papan tulis ke arah jendela, membuat kaget semua orang yang sedang berlalu lalang di koridor. Pria itu mengambil tas ranselnya dengan maksud untuk pergi kemana pun. Ke tempat dimana ia benar benar bisa mencurahkan isi hatinya.

Sayangnya, tempat yang selalu ia datangi setiap memiliki beban pikiran adalah Nasya. Dan kini, jarak antara keduanya semakin menganga lebar.

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Paper PlanesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang