Vidi duduk termenung di pagar balkon kamarnya. Kakinya bergelantungan, sedangkan kedua tangannya mencengkram ujung pagar balkon erat erat agar tidak jatuh. Pikirannya melayang jauh entah kemana.
Satu jam yang lalu, ia baru saja menelfon Rey. Mungkin terdengar menjijikan jika Vidi menelfon Rey tengah malam hanya untuk meminta konsultasi tentang perasaannya. Seminggu ini pria itu uring uringan dengan sikap Nasya yang berubah drastis. Awalnya ia menganggap dirinya hanya sekedar khawatir. Khawatir jika Nasya menjauhinya. Lama kelamaan, ia tersadar. Sadar jika perasaannya lebih dari sekedar khawatir. Ia takut. Takut kehilangan perempuan itu, bahkan disaat perempuan itu bukanlah miliknya.
Pria itu melompat turun dari pagar balkonnya lalu menduduki sebuah kursi rotan yang masih berada di balkonnya. Ia terdiam, menikmati hembusan angin malam yang dinginnya cukup menusuk. Sepuluh menit kemudian, Vidi berjalan masuk ke kamarnya dan mengambil gitar kesayangannya. Ia kembali duduk di balkon sambil memetik pelan gitar tersebut.
Lean in when you laugh,
We take photographs
There’s no music on
But we dance alongNever felt like this before
Are we friends or are we more?
As I’m walking towards the door
I’m not sureVidi memainkan lagu itu secara pelan. Ia menyelami makna lagu itu, dan merasa tertohok seketika. Pria itu melirik balkon kamar Nasya yang tepat berada disamping kamarnya. Sunyi. Tidak ada suara apapun terdengar dari dalam kamar. Dan Vidi dapat menghela nafasnya dengan lega. Ia takut jika Nasya mendengarnya menanyikan lagu itu dan ia akan berpikir yang tidak tidak. Ia cuma ingin hubungannya dengan perempuan itu tidak semakin merenggang.
Namun sayangnya, tepat setelah itu sesosok perempuan muncul di samping balkon kamar Vidi. Ia menggunakan piyama beruang berwarna merah muda. Di tangannya terdapat sebuah boneka panda yang besarnya nyaris menyainginya.
Lo lucu, Sya. Batin Vidi.
"Hai, Vid. Belum tidur?" Sapa Nasya dengan senyum hangatnya.
"Gak ngantuk."
Nasya mendengus kesal mendengar jawaban Vidi yang ketus.
"Nyanyiin gue dong, Vid." Pintanya.
"Hah?"
"Nyanyiin gue, Vidi cantik."
Vidi terkekeh pelan. "Mau dinyanyiin apa, nyonya besar?"
Kedua bola mata Nasya membesar. "Serius? Yeyyy! Nyanyiin apa aja deh terserah sampe gue ngantuk."
"Yaudah, gue nyanyiin lagu yang barusan gue nyanyiin aja ya."
Itung itung ngode, lah. Siapa tau peka. Terus, jadi deh. Hehehe.
Nasya hanya mengangguk mantap mendengarnya. Matanya tertuju pada petikan petikan gitar yang dimainkan Vidi.
The end of the night
We should say goodbye
But we carry on
While everyone’s goneNever felt like this before
Are we friends or are we more?
As I’m walking towards the door
I’m not sureBut, baby, if you say you want me to stay
I’ll change my mind
'Cause I don’t wanna know I’m walking away
If you’ll be mine
Won’t go, won’t go
So, baby, if you say you want me to stay, stay for the night
I’ll change my mind"Vid?"
Vidi menghentikan nyanyiannya saat Nasya memanggilnya dengan suara yang cukup dalam.
"Hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Planes
Teen Fiction"Vid, are we friends? Or are we more?" Vidi menarik nafas dalam dalam saat sebuah serangan yang dilontarkan Nasya secara tiba tiba mendarat tepat dihatinya. Kalimat itu benar benar menohoknya. "Gue gak pernah tau sebenernya kita berdua itu 'apa'. Ta...