5. Satu Permintaan

34 19 12
                                    

Menjadi anak kelas 12 memang melelahkan. Nasya baru saja digeber geber sang Mama untuk mengikuti bimbingan belajar. Tapi, dari pada ikut bimbel yang ujung ujungnya bakal banyak banget bolos, Nasya lebih memilih belajar bersama Vidi dan teman temannya. Awalnya Mamanya memang sangsi, melihat mereka berempat benar benar suka membuat keributan. Namun, mau bagaimana lagi.

Dan disinilah mereka. Di ruang pribadi Rey. Niat mereka yang awalnya ingin serius belajar, kini buyar sudah saat dua kardus pizza sampai dengan selamat di rumah Rey.

"Gue bilang juga apa. Jangan makan kebanyakan. Ngantuk kan lo pada." Gerutu Nasya. Niatnya untuk menjadi ambis digagalkan oleh mereka bertiga.

"Jadi orang gak usah terlalu serius apa, Sya. Have fun dong! Nikmatin masa SMA lo, beb." Ujar Rey sambil tertawa girang.

Nasya menoyor kepala Rey dengn kencang. "Have fun palalo. Kalo lo gak keterima di PTN manapun, gue ketawain sampe mampus lo."

"Yah, kalo ngomong disaring dulu dong, Sya. Omongan adalah doa loh. Lo mau gue jadi pengangguran seta-EH VANESSA MAU DATENG KESINI WOI!" Jerit Rey dengan sangat antusias saat melihat handphonenya. Pria itu sepertinya sudah tergila gila dengan Vanessa.

Setelah satu minggu bertemu, hubungan Nasya dan Vanessa terlihat membaik. Sangat membaik malah. Keduanya menjadi dekat. Tapi, tentu saja Nasya masih menjaga jarak jika ada sesuatu yang berhubungan dengan Vidi.

Ngomong ngomong tentang Vidi dan Nasya, kedua orang itu sedari tadi hanya terdiam. Sejak malam dimana Nasya diantar pulang oleh Adrian, hubungan keduanya cukup merenggang. Hanya sedikit dan tidak kasat mata.

Sebaliknya, hubungan Adrian dengan Nasya justru naik tahap. Keduanya mulai sering berdekatan walaupun masih terlihat malu malu. Begitu juga antara Vidi dan Vanessa. Nasya dibuat mengelus dada terus menerus karena melihat Vanessa yang selalu mengekori Vidi kemanapun dia pergi.

Dalam seminggu, perubahan yang terjadi ternyata cukup drastis.

"Nasya." Panggil Vidi kepada perempuan disampingnya.

"Apa?" Singkat, jelas, dan padat.

"Temenin gue makan bubur diluar dong." Pintanya, sedikit merajuk.

Nasya masih berkutat pada handphonenya. Ia sengaja menghindari kontak mata dengan Vidi, karena ia takut jika sekali saja ia menatap sepasang bola mata yang hitam legam itu, semua rencananya hancur sia sia. Ia tidak mau itu semua terjadi.

"Gak ah, Vid. Gue lagi ngantuk banget nih. Lo sama Vanessa aja nanti." Tolaknya mentah mentah, membuat Vidi mengerutkan keningnya.

"Nasya Zellica."

Mendengar nama panjangnya dipanggil, Nasya langsung bangkit dari tidurnya. Ia sadar, jika sudah begini, Vidi pasti ingin membicarakan hal serius padanya.

"Hm?"

"Gue buat salah ya sama lo?" Tanya Vidi secara perlahan.

"Ah enggak kok." Sanggah perempuan itu dengan cepat.

"Gue buat salah ya sama lo?!" Kalimat itu kembali diulang oleh Vidi. Kali ini, Vidi menatap Nasya dengan sangat tajam, membuat perempuan itu tertunduk takut.

"Gue buat salah ya sama lo?!!" Ulangnya, untuk yang ketiga kalinya. Suara Vidi kini mulai naik beberapa oktaf.

Bibir Nasya tertutup rapat. Giginya bergemelatuk, menimbulkan bunyi yang cukup kencang. Perasaan takut sudah menyelimuti dirinya. Tidak biasanya Vidi bersikap semenakutkan ini.

"Vid, ja... jangan kayak gini dong. Gue takut." Ucapnya dengan suara yang bergetar hebat.

Vidi hanya bisa menganga. Niat awalnya yang ingin membuat Nasya menjawab jujur justru membuat perempuan itu menangis ketakutan.

Paper PlanesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang