[9] Weak

932 25 0
                                    

"Assalamualaikum." aku membuka pintu rumah agak enggan.

"Wa'alaikum salam. Din? Kamu kenapa, muka ditekuk kek gitu?" tanpa aku lihat sudah jelas Kak Qilla tau there is something wrong with me. "Aku nggak papa kok, kak."

"You're lie!" bantahnya. "There must be something wrong with you. Kenapa?" tanyanya lagi.

Aku duduk di sofa sebelah Kakak. "Kakak bisa lihat 'kan aku masih bisa senyum?" jawabku sambil mencoba tersenyum seikhlas mungkin.

Kakak melihatku dalam, "Kamu nggak bisa bohongin kakak. You can say fine, but mata kamu bilang lain." tanpa aba-aba, air mataku mengalir. Kakak memelukku seolah memberiku ruang untuk menumpahkan emosiku.

"It's okay, it's okay. Nangis aja sepuas kamu." katanya sambil mengelus kepalaku. "He's lie to me! He... he's..." well, aku nggak bisa bayangin kelakuan anehnya selama 4 hari terakhir ini! Dia yang selalu menanggapi salam dari Nola, nggak klarifikasi hubungannya sama Nola, and anything else such that thing.

"Raffi..." gumam Kakak. "So, you wanna tell me right here?" tanya Kakak saat tangisanku mulai mereda. Aku menggeleng, aku takut Ayah atau Bunda tau aku nangis cuma gara-gara cowok. Dasar cengeng! Rutukku dalam hati. "Kita pindah di kamar aja, ya?" aku mengangguk. Aku menatap wajah Kakak lalu Kakak menghapus air mata yang masih ada di wajahku.

***

"Jadi, Raffi sekarang sikapnya seolah-olah dia benerin kabar nggak jelas itu?" tanya Kakak setelah aku menceritakan semuanya. "Memang agak konyol, tapi... Kakak tau 'kan?" tanyaku polos. Kakak mengangguk, "emang, sih. Tapi, mau gimana lagi, posisi kamu ini serba salah. Kalo kamu marah kamu nggak punya hak, tapi kalo kamu pendem sendiri, kamunya sendiri yang sakit." Kakak mengusap dagunya ala detektif dan berjalan mondar-mandir.

"Hmm... gimana ya?" gumamnya yang masih bisa aku dengar. Tak lama ia duduk di sebelahku lalu berkata, "Udah mungkin ini peringatan Allah buat kamu. Seharusnya kamu fokus UN tapi kamu malah fokus sama perasaan kamu."

Iya, mungkin kakak benar. Aku yang salah aku menyiksa diriku sendiri, aku yang lupa sama hal yang harusnya aku prioritaskan.

"Makasih, Kak." aku memeluknya erat. "Oh, iya!" seruku sambil melonggarkan pelukanku pada Kakak. "Kak, aku risih temen-temen pada nanyain Raffi mulu. Padahal aku pun nggak tau dia pacaran apa nggak,"

Kak Qilla tersenyum padaku. "Kalo gitu, bilang aja, 'tanya aja ke Raffinya sendiri' terus kalo mereka alesan apalah itu bilang aja, 'Sorry, ya, gue juga gak tau'."

"You know?" kakak melihatku denag alis terangkat sebelah. "Kakak lebih pantes jadi dokter cinta daripada dokter biasa." kataku seraya tertawa.

***

"Din, lo diselingkuhin Raffi, ya?"

"Emang Dinda pacaran sama Raffi, Dev?"

"Ye kali aja."

SUDAH CUKUP! Aku muak dengan petanyaan mereka semua

"AKU HARUS BILANG BERAPA KALI, SIH? AKU ITU NGGAK PACARAN SAMA SIAPAPUN! APALAGI SAMA RAFFI, PAHAM?" sentakku pada Devi dan Bunga seraya berdiri dari kursiku.

Mereka sepertinya agak ketakutan melihatku pertama kalinya (mungkin) berkata penuh penekanan seperti itu.

Aku menghembuskan nafas dan kembali duduk di kursiku.

Bismillah, Ta'aruf DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang