Bagian 3

563 36 0
                                    

Keesokan harinya, aku duduk sambil memperhatikan Lukas seperti biasa. Namun, aku hanyut dalam pikiranku sampai Sony datang dan membuyarkan lamunanku.

“Woi, Ga!”kata Sony sambil menepuk keras bahuku.
“Eh..., iya kenapa, Son?”tanyaku.
“Tuh kan ngelamun lagi? Mikirin siapa?”
“Yah ada deh, cuma...”
“Pasti mikirin seseorang ya? Kenapa sih kenapa?”
“Rasanya susah banget mau ngomong sama dia, gue agak malu juga sih. Dia itu bukan tipe orang yang gampang diajak bicara.”
“Cuma itu? Sini gue bilangin ya, lu tuh yang gentle dong. Lu cowok apa bukan? Kalau berani ajak dia bicara! Kalau gak berani, hubungan kalian ya gak bakalan ada peningkatan! Yang ada ntar lu yang sakit sendiri kalo dia udah ada yang punya!”
“Lu bener sih, tapi...”
“Udah, lu ajak bicara aja, percaya deh sama gue. Orang sedingin apapun, kalau lo hangat sama dia, lama-lama dia bakal lunak juga.”

Aku masih menimbang-nimbang perkataan Sony tadi. Aku masih belum memiliki cukup nyali. Berhari-hari aku menunggu waktu yang tepat untuk mengajaknya berbicara. Akhirnya pada suatu hari, saat istirahat aku melihat Lukas seperti biasanya duduk diam sambil membaca buku. Aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya.

“Kamu nggak ke kantin, Lukas?”tanyaku.
Ia mendongakkan kepalanya, menatap wajahku.
“Aku sudah pernah bilang padamu, aku benci keramaian. Jam segini pasti kantin sangat ramai.”jawabnya dingin.
“Ya sudah, kalau begitu biar kubelikan. Ingin sesuatu?”
“Tidak, aku tidak ingin merepotkanmu.”
“Ayolah, tidak baik menolak kebaikan orang lain.”
“Ba...baiklah, aku mau sepotong roti melon saja.”
“Baik.”

Aku pergi ke kantin dan membeli makanan untukku dan untuk Lukas. Hatiku senang sekali, aku akhirnya bisa berbicara dengannya. Beberapa saat kemudian, aku kembali ke kelas dan memberikan roti melon kepada Lukas.

“Terima kasih.”ucap Lukas sambil tersenyum.

Aku tertegun sejenak, baru kali ini aku melihatnya tersenyum seperti itu. Aku duduk di sampingnya dan mulai melahap roti cokelat yang kubeli.

“Baru kali ini, ada yang membelikanku makanan.”kata Lukas tiba-tiba.
“Eh, benarkah?”tanyaku.
“Aku senang.”
“Begitukah? Syukurlah kalau begitu. Hmm..., sebenarnya ada yang ingin kutanyakan.”
“Apa?”
“Memangnya kau tidak kesepian ya? Hari-hari aku hanya melihatmu sendirian.”
“Aku tak punya teman, jadi mau bagaimana lagi. Selama aku masih mendapat kelompok saat ada tugas kelompok, bagiku tidak masalah aku sendirian.”
“Kau dapat kelompok karena teman-teman membutuhkanmu. Kau ini jenius, tugas-tugas guru pasti selesai dengan mudah jika ada dirimu.”
“A...aku tidak sepintar itu. Yah, mungkin kau benar.”
“Kau tau? Dunia ini tidaklah lengkap tanpa teman.”
“Aku tidak tahu yang seperti itu.”
“Teman bisa meringankan beban masalahmu, teman bisa menjadi pendengar keluh kesahmu atau cerita-cerita bodohmu.”
“Selama ini aku hanya menuangkan semua pikiran dan masalahku ke dalam tulisan, kurasa itu cukup bagiku.”
“Itu saja tidak cukup, bagaimana dengan solusi masalahnya? Apakah tulisan bisa memberikan semua itu?”
“Aku bisa mengatasinya sendiri.”
“Apa benar begitu?”
“Ya, meskipun tidak semua dapat kuselesaikan.”
“Nah, karena itulah kau butuh sosok teman untuk membantumu.”
“Aku tidak tau harus berteman dengan siapa, aku.....tidak tau bagaimana caranya bergaul.”
“Hei, kan ada aku! Kalau kau ingin berteman, aku siap menjadi temanmu bahkan sahabatmu sekalipun.”
“Kau mau? Berteman dengan kutu buku sepertiku?”
“Aku tidak peduli kamu kutu buku, kamu berbeda, kamu pendiam, selama kamu adalah orang baik, aku akan berteman denganmu.”

Senyum Lukas terukir lagi di wajahnya. Senyumannya begitu menghangatkan. Sejak saat itu, aku dan Lukas semakin dekat. Walaupun tempat duduk kami berjauhan, itu bukanlah sebuah penghalang. Aku jadi semakin mengetahui kepribadian Lukas. Dia tidaklah sedingin yang aku kira. Dia adalah orang yang baik dan hangat. Ternyata, setelah dekat dengannya, dia benar-benar berbeda dari dugaanku.

To be continued

StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang