Marien POV
"Welcome to Magic Academy"
Semua yang ada diruangan menengok ke arah sumber suara, ternyata kepala sekolah telah datang menyambut semuanya. Aku pun terfokus untuk mendengarkan pidato yang dibacakan oleh kepala sekolah. Ternyata di Magic Academy ini mempunyai tiga tingkatan. Pertama ada tingkat pemula, kedua Junior dan terakhir Senior. Disini kami tidak menggunakan tongkat seperti penyihir lainnya melainkan kami memakai kekuatan yang berasal dari jiwa diri kami. Kami akan mendapatkan topi penyihir jika kami sudah memiliki kekuatan dan itu menandakan bahwa kami telah menjadi penyihir. Dan tidak lupa kami mempunyai sapu terbang sendiri.
Bosan. Itu lah yang aku rasakan sekarang. Mendengar pidato panjang lebar dari kepala sekolah membuat diriku mengantuk, mengingat aku harus bangun pagi-pagi buta hari ini. Karena kantukku tidak kunjung hilang aku pun diam-diam menyelinap kebarisan belakang dan keluar menggunakan kekuatan teleportasiku. Aku mendapatkan kekuatan ini dari ayahku. Bisa dibilang teleportasi ini kekuatan keturunan dari keluargaku. Aku memejamkan mataku dan membayangkan tempat yang ingin aku tuju lalu keluarlah cahaya putih dan saat itu juga aku sampai ketempat tujuanku, taman sekejap. Taman yang hanya muncul dengan seketika dan itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang telah melihat kematian dengan matanya sendiri.
Aku duduk disebuah batu besar yang berhadapan langsung dengan bunga-bunga didepannya. Aku mencoba membayangkan ibuku masih ada disisiku saat ini. Aku sangat merindukan dirinya. Ibuku meninggal saat mempertahankan bangsa kami (penyihir cahaya) dari penyihir kegelapan dan saat itu umurku masih menginjak satu tahun.
Srek.... srek.... srek.....
Semak-semak yang ada disampingku bergerak seperti ada seseorang disana. Aku mecoba mendekati semak-semak itu dan mengintip kedalamnya. Ternyata ada seekor burung dengan sayap yang berwarna emas berkilauan. Burung ini sangat cantik, batinku. Burung itu terperangkap diantara semak-semak. Aku membantu burung itu agar ia bisa terbang bebas kembali.
"Terimakasih Marien, kau sangat baik hati persis seperti ibumu." Aku terkejut bukan main burung itu bisa bicara. "Aku burung Victory, aku datang untuk menjagamu Marien." Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini. Aku mencoba mencubit pipiku. "Aww, sakit." Ternyata ini benar-benar nyata. "Aku datang karena keinginan ibumu." Burung itu berbicara lagi. "Karena keinginan ibuku? Maksudmu apa, ibuku sudah meninggal sejak aku berumur satu tahun." Aku masih tidak percaya dengan burung Victory itu. "Sebelum ibumu meninggal ia berpesan kepadaku untuk menjagamu saat kau berusia 15 tahun dan tepat hari ini kau sudah berusia 15 tahun." Jelas burung Victory.
"Kau berbicara dengan siapa?"
Aku menolehkan badanku kebelakang ternyata ada laki-laki yang berseragam persis seperti diriku. Ia memakai kemeja putih panjang yang ia gulung hingga siku dengan celana panjang berwarna red velvet. Jubah penyihirnya iya taruh dibahu kirinya. Tidak lupa rambutnya yang klimis menambah ketampanan yang ia miliki. Bola matanya yang hitam seperti ada ketegasan yang terpancar dalam dirinya. Dia tampan sekali, batinku. Aku terus memandanginya seperti orang kelaparan. Aku sangat terpesona melihatnya. Membuat detak jantungku berdetak tidak normal saat ini.
"Sudah lihatnya, huh?"
Aku pun tersadar dari lamunanku yang panjang tentang dirinya. Aku baru ingat dia itu laki-laki menyebalkan yang tadi pagi aku kira ingin menghampiri diriku. Siapa dia? Dan mengapa dia bisa disini? Aku pun memincingkan mata memperhatikan gerak-geriknya. Dia sangat mencurigakan.
"Siapa kau? Dan mengapa kau disini?" aku balik bertanya.
"Bukan urusanmu." Jawab laki-laki itu.
Dingin sekali dia es saja bisa kalah menandingi sikapnya. Menyebalkan. Apa semua laki-laki tampan seperti ini ya. Tapi sepertinya aku mengenalnya, tapi dimana. Aku lupa.
"Kau lupa denganku? Kepalamu terbentur lagi, huh?" Tanya laki-laki itu.
"Hey, kenapa kau bisa tau kalau kepalaku pernah terbentur? Siapa kau sebenarnya." jawabku.
"Zaron." Jawabnya dengan memasang muka yang sangat datar. Menyebalkan.
Tiba-tiba laki-laki itu menghilang tanpa bekas hanya meninggalkan seekor kucing dengan bulu hitam yang lebat.
"Siapa dia sebenarnya dan apa yang dia ketahui tentangku." Kataku.
Tiba-tiba aku pun teringat dengan burung Victory yang aku temukan tadi. Dimana dia. Aku memanggil-manggil namanya tetapi ia tidak muncul juga. "Mungkin saja dia ada dilangit." Kataku. Aku pun memandang langit yang nampak biru berawan. Indahnya. Tiba-tiba sebuah bulu berwarna emas berkilau jatuh tepat diatas mataku. Ini bulu burung Victory tapi dia dimana sekarang.
Karena terlalu lama berdiri aku menjadi kelelahan dan aku duduk kembali ke batu besar yang sempat aku tinggalkan tadi. Angin bertiup dengan sejuknya mengundangku untuk tidur kembali. Aku mencoba untuk mempertahankan mataku agar tetap terbangun. Namun semakin kuat aku mempertahankan semakin berat kantuk yang aku rasakan. Perlahan-lahan mataku mulai menutup hingga tertutup sempurna. Aku mencoba untuk bangun tapi alam mimpi sudah menghampiriku untuk menyuruhku tidur secepatnya. Akhirnya aku tertidur ditemani oleh angin yang sejuk dan seekor kucing hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Memories
FantasyKenangan. Satu hal yang sulit untuk dilupakan. Kenangan mengenai seseorang yang pernah mengisi indahnya hati Marien. Marien wanita jutek yang tidak menyukai hujan. Ia terjebak dengan semua kenangan itu. Cerita ini dimulai saat Marien belajar di Magi...