Chapter 3

3.4K 61 0
                                    

"Assalammua'alaikum" kata mereka bertiga dengan kompak.

"Wa'alaikummussalam" jawab Ibu Guru dan mereka pun bersalaman.

"Maaf, Bu, kalau kedatangan kami mengganggu pekerjaan Ibu" kata Mardi.

"Gak, Mardi, gak ganggu kok, memangnya ada apa? Katakan saja!" tanya Ibu Guru.

"Begini Bu, Saya mengajukan keberatan terhadap hukuman yang Ibu berikan kepada Edo. Saya mohon Bu, Edo dari SMP ingin sekali menjadi Ketua OSIS, Ibu boleh saja memberikan hukuman yang lain kepadanya, tapi mohon, Bu, jangan cabut jabatannya" mohon Mardi.

"Tidak, Mardi, keputusan Ibu sudah bulat, Edo sudah pantas menerima hukuman itu" Ibu Guru tegas dan tetap dengan pendiriannya.

"Jadi, Ibu tidak mau mengubah keputusan Ibu?" tanya Mardi.

"Ya, Mardi"

"Baiklah, kalau Ibu tetap dengan keputusan Ibu, Saya juga akan mengambil keputusan. Ibu, Saya akan mundur menjadi Ketua Kelas kalau Edo tidak menjadi Ketua OSIS kembali, dan Ibu silahkan cabut jabatan Saya sebagai Ketua Kelas X IPS 1. Saya pamit ke kelas, Bu, assalammualaikum" jelas Mardi lalu ingin pergi.

"Mardi, tunggu!" Ibu guru menghentikan langkah Mardi yang sepertinya ingin mengubah keputusannya.

"Baiklah, Ibu akan mengubah keputusan Ibu. Tapi, tolong Kamu kasih pendapat! Hukuman apa yang pantas untuk Edo?" ujar Ibu Guru.

"Baiklah, Bu, tapi pendapatku bukan hukuman, tapi perjanjian" saran Mardi.

"Perjanjian? Maksudmu?" Ibu Guru sedikit bingung.

"Edo harus membuat dan menanda tangani surat perjanjian itu, bahwa Edo tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut. Dan kalau Edo sampai mengulangi perbuatannya lagi, maka hukumlah Edo dengan setimpal. Bagaimana, Bu? Apa gagasanku bisa diterima?" jelas Mardi.

"Baik, Ibu setuju dengan pendapatmu. Edo, mulai besok kumpulkan surat perjanjianmu itu di kantor BK! Ibu juga tidak jadi memanggil orang tuamu dan tidak akan mencabut jabatanmu sebagai Ketua OSIS" kata Ibu Guru.

Akhirnya, Edo tidak jadi dicabut jabatannya sebagai Ketua OSIS dan juga tidak jadi untuk dipanggil orang tuanya ke sekolah. Ini semua berkat Mardi yang sudah mengambil keputusan yang sangat bijak.





"Mardi, Aku tidak tau harus berterima kasih padamu dengan cara apa? Tapi, Aku-," kata Edo.

"Udah gak usah dipikirin, yang penting jabatan Kamu selamat dan orang tuamu tidak jadi dipanggil kesekolah" kata Mardi.

"Oh ya, begini saja, bagaimana kalau Aku traktir Kamu makan aja" saran Edo.

"Udah gak usah, Aku ikhlas kok nolong Kamu" tolak Mardi.

"Ayolah, Mardi, kita kan sudah lama bersahabat, jadi sebagai rasa terima kasih Aku sama Kamu, Aku akan traktir makan di cafe, mau ya?" paksa Edo.

"Ya udah deh" akhirnya Mardi pun mau.

"Nah, gitu dong. Itu baru namanya sahabat" kata Edo sambil tersenyum.

"Tapi, ajak Eva dan Putri juga ya?" syarat Mardi.

"Pastinya dong"

Dan akhirnya, mereka sepakat untuk makan di cafe. Karena kebetulan, Edo adalah anak orang kaya, jadi Ia mengajak sahabatnya untuk makan di cafe. Lagi pula, Mardi belum pernah makan di cafe sebelumnya apalagi sampai masuk kesana.







Keesokan harinya, saat berada di kantin, Mardi menemui Putri dan ingin mengajaknya untuk makan di cafe bersama dengan Edo dan Eva.

"Putri, Kamu sudah pulang sekolah sibuk gak?" tanya Mardi.

"Enggak sibuk, di rumah aja. Emangnya kenapa? Mau ke rumah Aku?" jawab Putri dan berbalik bertanya.

"Enggak, si Edo traktir kita makan di cafe, tapi Dia bilang cuma kita berempat aja, yang lain gak usah ikut" ujar Mardi.

"Cuma kita berempat? Huh, nggak ya, kalau Edo mau ngajak Aku, ajak Kak Maya juga dong" tolak Putri.

"Loh, kok ajak Kak Maya? Kan yang bersahabat dari SMP cuma kita berempat, jadi Edo ingin kita berempat saja yang makan di cafe" Mardi heran.

"Tidak, bilang sama si maling itu, Aku tidak mau datang kalau Dia tidak mengajak Kak Maya, titik" kata Putri.

Disinilah, Mardi mulai merasa sifat Putri sudah mulai berubah semenjak Ia dekat dengan Kak Maya. Dan Mardi pun pergi menemui Edo.





"Edo, Putri tidak mau ikut dengan kita" kata Mardi.

"What? Kenapa Dia gak mau?" Edo kaget dan heran.

"Dia tidak mau ikut, kalau Kamu tidak mengajak Kak Maya" ujar Mardi.

"What the fuck? Ngajak si behel karatan itu. Hah, maaf ya, Aku nggak sudi ngajak Maya itu" tolak Edo.

"Kenapa?" tanya Mardi.

"Karena si behel karatan itu yang sudah ngejebak Aku" kata Edo.

"Maksudmu?" Mardi sedikit kaget.

"Aku tadi diberitahu oleh Rebi, teman kita. Katanya, Ia memergoki Kak Maya mengambil handphonenya Putri, lalu Ia memasukan handphone Putri ke dalam tasku agar Aku yang disangka pencurinya. Awalnya sih, Aku gak percaya, tapi ketika Aku lihat foto buktinya, Aku langsung percaya" jelas Edo.

"Ternyata dugaanku selama ini benar, Kak Maya ingin memanfaatkan Putri saja. Aku harus bicara sama Putri!!" kata Mardi lalu ingin pergi.

"Tunggu, Mardi! Jangan sekarang! Putri sekarang sudah tidak memperdulikan kita lagi. Dia pasti tidak akan mendengarkanmu, Karena Dia sudah dipengaruhi oleh Kak Maya" cegah Edo.

"Iya, Kamu benar, Edo, Putri sekarang sudah banyak berubah" kata Mardi.

Bel waktu istirahat berakhir.





Sepulang sekolah, Mardi, Edo dan Eva berkumpul bersama di sebuah cafe tanpa hadirnya Putri. Namun, Edo mengajak temannya yang lain untuk menggantikan Putri, yaitu Alif, Teman yang baru sebulan dikenal oleh Mardi dan Edo, tapi Eva ingin sekali berkenalan dengan Alif. Dari raut mukanya, sepertinya mereka saling menyukai. Sebulan kemudian setelah Alif dan Eva berkenalan, akhirnya mereka pun resmi pacaran. Mardi dan Edo pun ikut bahagia dan memberi selamat kepada mereka berdua.

Retaknya Sebuah PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang