SEPULUH

12.9K 436 2
                                    

Siang itu Zia bersama Adit tengah mengurus segala keperluan mereka untuk berangkat ke Singapura, dua hari setelah kelulusan Zia, karena Adit tidak mau mengulur waktu lagi, Zia harus segera mendapat perawatan, lebih cepat lebih baik pikirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang itu Zia bersama Adit tengah mengurus segala keperluan mereka untuk berangkat ke Singapura, dua hari setelah kelulusan Zia, karena Adit tidak mau mengulur waktu lagi, Zia harus segera mendapat perawatan, lebih cepat lebih baik pikirnya. Tepat jam 9 pagi Adit sudah memasukkan semua barang-barang ke koper, sementara Zia dilarangnya membantu karena wajahnya terlihat pucat. Adit membawa seorang supir yang nantinya akan mengembalikan mobil itu pada temannya, selama di Indonesia tidak mungkin Adit membeli mobil yang hanya akan dipakainya selama sebulan, jadi ia meminjam mobil pada kenalannya. Setelah semua beres, Adit masuk ke mobil dan Zia sudah tertidur, sebenarnya ia sedikit khawatir karena sedari pagi wajah Zia pucat dan tidak banyak bicara seperti biasanya.

Mereka bertiga sudah memasuki pintu bandara, namun tiba-tiba ponsel Adit berdering, dilihatnya layar itu menunjukkan nomor baru, Adit mengangkatnya. "Halo ?"

"Halo Kak, ini gue Bima, emm gue .. gue mau bicara sama Zia ?". ucap Bima khawatir. Adit yang awalnya merangkul Zia segera menjauh.

"Bim, ada yang perlu elo tahu, Zia sedang sakit, dia mewarisi penyakit Bundanya, kanker darah, gejalanya sudah mulai terlihat, gue mau bawa dia pindah ke Singapur, Zia butuh perawatan secepatnya, sekarang gue sama Zia ada di Bandara".

Tidak terdengar balasan, Adit melihat layar ponselnya dan masih tersambung. "Halo .. halo .. Bima ?" panggilnya sambil sesekali melihat pada Zia yang sedang bersandar pada dinding.

"Jam berapa kalian take off ?" Bima bersuara. "Tiga puluh menit dari sekarang, kalo elo mau ketemu Zia, masih ada waktu". Dan sedetik setelah Adit mengatakan itu sambungan terputus, dipandanginya ponsel itu lalu tersenyum. Adit menghampiri Zia

"Dek, temen mas masih masih mau kesini, kita masih ada waktu 30 menit, makan dulu yuk ?" bohongnya, ia tahu kalau Bima sedang dalam perjalanan menuju ke tempat itu.

"Tapi aku gak laper mas" jawab Zia lemas, Adit mengusap kepala adiknya.

"Iya mas tahu, tapi setidaknya temenin mas minum, ya ?". Zia mengangguk. "Eh pak Andi mau ikut makan sekalian ?"tawar Adit

"Oh ndak usah mas, saya langsung pulang saja, saya sudah sarapan tadi".

"Ya sudah kalau begitu, makasih pak Andi". Adit lalu membawa troli barangnya.

"Sama-sama, mari mas", pamit supir paruh baya itu dan dibalas anggukan ramah oleh Adit.

Mereka berdua menuju ke food court, Adit hanya memesan segelas cappucino, sementara Zia menelungkupkan wajahnya di meja. "Dek ? kamu sakit ?". kekhawatiran Adit sudah memuncak, Zia mengangkat wajahnya lalu tersenyum. "Gak mas aku gak papa"

"Terus kenapa mukamu pucat gitu, dari tadi pagi lho"

"Mas, sebenernya kemungkinan kesembuhanku ini berapa persen ? kalo dibawah 50 aku rasa aku gak perlu menjalani perawatan itu, udah gak ada gunanya mas, tujuan hidup seseorang itu kematian, dan aku udah siap kapanpun, setidaknya sebelum aku pergi, aku udah diberi kesempatan bahagia, ketemu sama mas Adit, dan bentar lagi ketemu sama Ayah, aku juga bisa ngerasain punya keluarga lengkap, makan masakan seorang ibu, dimanja sama kakak sendiri, bisa tahu rasanya pake ponsel mahal, makan makanan enak dan beli baju bagus yang gak pernah bisa aku beli sendiri. Aku udah bahagia dengan itu semua mas, jadi apalagi yang mesti aku pikirkan, aku bisa pergi dengan tenang".

HEART & HURT (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang