"Kalian pikir gue sudi ? bahkan nyentuh sehelai rambutnya aja gue jijik, semua yang ada sama dia itu sangat menjijikkan di mata gue, kayak sampah yang udah gak bisa di daur ulang !".
Satu hal yang mau gue lihat dari dia adalah hancur se-hancur hanc...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jam sudah menunjukkan pukul 20.00, Zia sudah bersiap-siap pergi, dengan dress merah selutut dan wajah yang sudah di make-up. Zia memakai cardigan hitamnya, tas putih sudah tersampir di bahunya. Ia berjalan menuju tempat tujuan yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari rumahnya. Sepanjang perjalanan pikiran Zia kacau, selalu hal sama yang ia pikirkan sejak masalah dalam hidupnya dimulai. Ia seperti berjalan tanpa akal, tatapannya kosong dan redup, bunyi klakson mobil dan teriakan yang memperingatinya untuk minggir hanya mampu menyadarkannya sementara, setelah itu pikiranya kembali kosong sampai ada bunyi klakson motor lalu braak.
Seorang cowok terjatuh dari motor hitam besarnya, Zia tersadar dan segera menghampiri cowok itu. "Bima ?" pekiknya, setelah ia mengenali wajah itu.
Bima mengerang memegangi sikunya yang tergores aspal cukup parah sampai mengeluarkan banyak darah. Begitu melihat cewek yang tengah memangku kepalanya, Bima mengumpat, "Sialan, elo emang brengsek, elo selalu jadi pembawa sial di hidup gue, kenapa harus ada elo di dunia ini heh ?" teriaknya.
"Elo bisa lanjutin nanti, sekarang bukan saatnya elo teriak-teriak gini". Zia berdiri lalu memanggil taksi yang berhenti tidak jauh dari situ, setelah taksi itu mendekat, Zia meminta tolong pada supir untuk membantunya memapah Bima. Di dalam taksi bahkan Bima tidak pernah sedikitpun membiarkan Zia menyentuhnya, bahkan tidak perduli dengan wajah Zia yang sudah teramat sangat khawatir. Selain khawatir dengan luka di siku Bima, ia juga tengah mempersiapkan hati untuk menerima segala caci maki dari cowok disampingnya ini.
Di ruangan yang serba putih itu, Bima sedang ditangani oleh dokter, Zia yang berdiri di ujung ranjang pasien hanya melihat tangan Bima sedari tadi. Setelah selesai menangani Bima, dokter lelaki paruh baya itu mendekati Zia. "Tidak parah, hanya saja sikunya terkilir, mungkin dalam seminggu kedepan sudah pulih. dan sekarang silahkan urus administrasinya dulu". Ucap dokter itu ramah. Dan saat Zia akan bersuara, Bima sudah mendahuluinya.
"Nanti saya sendiri yang akan mengurusnya dok, dia gak bakalan mampu bayar biayanya karena udah kehilangan pelanggan malam ini !". Dokter itu sedikit bingung mendengar pernyataan Bima, namun setelah itu menganggung dan pergi.
Bima kembali menunjukkan tatapan tajam sekaligus tidak sukanya pada Zia yang masih berdiri kaku. "Ngapain elo masih disini ? pergi sana, klien elo udah pada kehausan nunggu elo" ucapnya lalu mengalihkan pandangan.
"Bim bisa gak sih elo gak berpikir seburuk itu tentang gue ?"
"Siapa yang berpikiran buruk ? itu kenyataan kan ? buah jatuh gak jauh dari pohonnya, dan elo masih menyangkal itu semua, jangan sok suci deh"
"Tapi emang kenyataannya gak seperti itu. Elo gak pernah tahu apa-apa. Gue gak sama kayak Bunda, gue milih jalan gue sendiri"
"Jalan seperti apa yang elo pilih heh ? apa masih bisa dikatakan baik kalau seorang cewek keluar malem-malem dan pulang hampir pagi dengan dandanan dan pakaian kayak gitu ? itu jalan bener menurut elo ? gila elo"