Zia berusaha menahan rasa sakitnya sebisa mungkin, tanganya yang masih melingkari leher Bima sudah bergetar. Tiba-tiba terdengar bunyi telepon, dari ponsel Zia, pelan-pelan Bima mencari ponsel dari tas Zia, setelah ditemukan, Bima membaca nama yang tertera di ponsel itu. Mas Adit, ia sempat berfikir, apakah dia orang yang sama seperti yang ia lihat waktu itu. Bima mengangkatnya, "Halo Zi, mas udah ada di depan gerbang, kamu dimana ?"
"Maaf, ini saya temannya, Zia sedang sakit"
"Dia dimana sekarang ?", rasa cemas langsung menyergap Adit.
"Biar saya yang bawa Zia kesana, tunggu saja". Bima langsung memutus sambungan, dikembalikannya ponsel itu kedalam tas Zia lalu kembali menggendong Zia menuju gerbang. Begitu melihat sosok adiknya, Adit langsung membuka pintu belakang, Bima membaringkan Zia disana. "Terimakasih atas bantuannya", ucap Adit dan langsung menuju pintu kemudi tapi sebelum Adit membuka pintu, Bima menahannya "Kamu siapa ? dan apa yang terjadi sama Zia ?", Adit memandang Bima sesaat, ia menangkap sesuatu dari tatapan mata itu.
"Gue gak punya waktu buat jelasin dengan keadaan Zia yang kayak gitu, kalau mau tahu elo bisa ngikutin mobil gue sekarang, jangan sampai ketinggalan". Mendengar itu Bima segera berlari menuju tempat parkir dan mengemudikan mobilnya mengikuti mobil yang ditumpangi Zia. Adit memarkir mobilnya, diikuti mobil Bima yang sengaja diparkir bersebelahan, Adit menggendong Zia, dan Bima mengikuti, "Elo jangan ikut masuk, tunggu diluar, setelah ngurus Zia gue janji bakalan nemuin elo, elo bisa tahan sebentar rasa penasaran elo". Tanpa menunggu respon Bima, Adit berjalan masuk kerumah sakit yang cukup besar itu. Bima tidak memperdulikan ponselnya yang sedari tadi berbunyi, yang ia pikirkan sekarang hanya Zia, selama dua jam ia menunggu tepat di depan ruangan Zia namun Adit sama sekali belum keluar. Ia merasa ada yang disembunyikan Zia, sudah dua kali Zia seperti itu, tidak mungkin jika hanya sakit biasa. Saat Bima sedang berkutat dengan pikirannya, Adit keluar dan langsung duduk disebelahnya, "Apa alasan elo ingin tahu tentang Zia ?", tanyanya.
"Gue gak punya alesan apa-apa, yang jelas gue gak bisa tenang kalau belum mastiin keadaan Zia, tadi dia nolak buat gue bawa kerumah sakit, pasti ada sesuatu kan ?"
"Elo temen sekelasnya Zia ?", Bima mengangguk. "Berarti elo termasuk dalam daftar orang yang selalu ngehina Zia ?". Kali ini Bima diam, mengingat hal itu sekarang malah yang ingin dia bunuh adalah dirinya sendiri.
"Lebih dari itu, bahkan gue yang pertama kali bikin kekacauan itu". Tidak butuh waktu lama untuk Adit mengerti maksud ucapan Bima.
"Kalau ini bukan rumah sakit, udah gue habisin elo, brengsek !", Adit tidak menatap Bima, pandangannya lurus kedepan dengan rahang yang mengeras.
"Gue tahu gue salah, tapi gue khilaf, karena nyokapnya Zia papa gue meninggal, dan waktu itu gue benci banget sama Zia sejak tahu kalau dia adalah anak dari orang yang udah bikin papa gue meninggal, gue jadi terobsesi buat ngehancurin hidupnya, gue bilang dia pelacur, dan sebelum nyokap dia meninggal gue pernah bilang kalau nyawa harus dibayar dengan nyawa. Waktu nyokap Zia meninggal, gue sengaja ngikutin dia, gue nyuruh dia masuk mobil karena lagi hujan deras, tapi dia gak mau dan disitu untuk pertama kalinya gue lihat dia marah, dari situ gue tahu semuanya, dan gue nyesel banget udah ngelakuin itu sama dia".
"Elo tahu ? elo itu egois, elo gak mikir pihak mana yang harus disalahkan, dan elo udah bales dendam ke orang yang salah, pernah mikir gak sih, salahnya Zia itu dimana heh ? posisi dia itu gak tahu apa-apa, yang bikin bokap elo meninggal itu bukan dia, tapi dalam sekejap elo bikin semua orang membencinya, dia itu udah terpuruk sejak kecil dan elo semakin bikin dia terpuruk. Karena ulah elo dia jadi gak bisa percaya sama siapapun termasuk ayahnya sendiri, tiap hari dia udah kayak orang gila, gak ada semangat hidup sama sekali, sedikit lagi mungkin dia bakalan mendekam di rumah sakit jiwa atau mungkin mati mengenaskan kalau gue gak dateng"
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART & HURT (Completed)
Romance"Kalian pikir gue sudi ? bahkan nyentuh sehelai rambutnya aja gue jijik, semua yang ada sama dia itu sangat menjijikkan di mata gue, kayak sampah yang udah gak bisa di daur ulang !". Satu hal yang mau gue lihat dari dia adalah hancur se-hancur hanc...