Zia memasuki kelasnya, seketika kata-kata yang paling Zia benci memekakkan kupingnya, ia tidak memperdulikan dan terus berjalan menuju bangkunya, wajahnya sangat dingin tidak ada bedanya dengan wajah Bima sekarang yang terdiam di kursinya. Saat mengantar Zia pulang kemarin cowok itu sempat melihat senyum manis Zia dan sialnya hal itu yang menjadi pengacau otaknya sekarang, berputar seperti sebuah film, tapi sekarang Zia bersikap seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi antara mereka. Hari ini wajah yang biasanya penuh kesedihan sekarang justru menakutkan.
"Pagi butterfly". Suara Chacha yang perlahan mendekat pada Zia, "Hey semua, muka si butterfly marah tuh, by the way marah kenapa ya menurut kalian ?".
"Yaa paling om om nya gak ada yang tertarik, makanya pake bajunya yang lebih nantang lagi dong". Respon Rion yang langsung diikuti tawa murid lain.
"Gitu ya Zi ? apa mau gue bantu rancangin baju buat elo kerja, hmm ?" Chacha melipat kedua tangannya di dada, mukanya sangat bernafsu mempermalukan Zia hari ini, "Gue punya tuh baju gak kepake dirumah, ntar tinggal elo robek aja bagian tertentu biar bisa elo pake"
Zia yang semula menunduk langsung menatap tepat di manik mata Chacha, mata itu memberi isyarat 'hati-hati' yang membuat Chacha tertegun sesaat, takut ? ya, tapi Chacha masih menyembunyikan ketakutannya, Zia tidak pernah menang darinya, pikirnya. "Baju elo terlalu mahal untuk gue robek, gimana kalau mulut murahan elo yang gue robek sebagai gantinya ?", suara Zia kali ini terdengar menakutkan hingga membuat suasana kelas yang semula ramai dengan sorakan kali ini sepi, semuanya menatap pada Zia, bukan, lebih tepatnya tidak percaya ucapan yang keluar dari mulut Zia "Apa kata elo ? disini yang punya predikat murahan itu elo, bitch". Wajah Chacha sudah merah karena emosi.
"Bukti apa yang elo punya kalau gue lebih murahan dari elo ?". Zia berdiri, tubuh tingginya sangat mengintimidasi Chacha yang lebih pendek darinya.
Chacha tertawa meremehkan pertanyaan Zia."Udah jelas ya gak ada yang perlu dibuktiin, keluar malem pulang pagi, apa namanya kalau bukan ngobral tubuh ?". PLAAK, satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Chacha, cewek itu mengelus pipinya yang terasa panas. "Elo .. ! beraninya tangan kotor elo nyentuh pipi gue, sialan". PLAAK, Chacha balas menampar Zia, tapi yang dilakukan Zia justru tidak diduga, tangannya kembali menampar Chacha, Chacha akan menyerang Zia tapi beberapa teman-temannya menahan.
"Mulut elo ..", Zia menunjuk ke arah Chacha lalu beralih ke semua mata yang sedang menatapnya, "Dan mulut kalian semua justru lebih murahan, tau apa kalian tentang hidup gue ? apa kalian gak ada kerjaan selain ngurusin hidup gue hah ? nyokap gue yang pelacur-yang dimata semua orang rendahan, masih ngajarin gue etika dan sopan santun, tapi kalian yang berasal dari keluarga terpandang justru punya mulut yang sama murahnya seperti harga diri pelacur, apa perlu gue cuci mulut kalian satu-satu biar jadi sedikit lebih mahal ? gue... bukan Zia yang kemaren, sekarang gue bisa ngelakuin apa aja sama kalian, kalian gak ada hak ngerendahin gue, sekali kalian manggil gue pelacur, gue bakalan ngelakuin apa yang gak pernah kalian pikir sebelumnya !". Semua ketakutan, perubahan Zia membuat mereka tidak berani menatap mata itu, semua pura-pura sibuk sendiri, Zia kembali menatap Chacha. "Untuk sekarang gue berbaik hati sama elo, tapi sedikit saja elo berulah lagi, siap-siap muka mulus elo ini hancur, dan gue gak main-main ! Gak perduli meskipun setelahnya gue diseret ke ruang BK !". Tanpa menunggu jawaban, Zia kembali duduk dan mengeluarkan buku apapun dari dalam tasnya, ia tidak menyangka akan menjadi seorang monster seperti barusan. Sudah cukup semua upaya diamnya selama ini, ia sudah mencoba bersabar dan tindakannya sekarang itu karena ia tidak tahu lagi harus bersabar seperti apa. Chacha yang sudah benar-benar ketakutan sekarang sudah duduk anteng di bangkunya sambil tetap memegangi pipi kirinya dan menangis, sekarang ia tidak akan mencari gara-gara lagi, dua tamparan itu sudah lebih dari kata cukup. Ternyata benar marahnya orang pendiam seribu kali lebih menakutkan daripada yang benar-benar pemarah. Sementara Bima terdiam, meskipun ia tidak melihat wajah Zia tadi tapi dapat ia rasakan seorang Zia tiba-tiba berubah dalam waktu yang sangat singkat, kemana Zia yang pendiam, kemana Zia yang selalu berkata lembut, kemana Zia yang kemarin ? satu yang membuatnya sadar, semua karena dirinya, akar sifat menakutkan milik Zia itu dari dirinya. Jika sebelumnya yang mempermainkan Zia adalah dirinya, maka sekarang Zialah yang mempermainkannya tanpa disadari sama sekali oleh pelakunya. Tapi dengan sikap Zia yang sekarang membuatnya sedikit senang karena Zia bisa memperoteksi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena jujur ia tidak bisa melihat Zia tersakiti lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
HEART & HURT (Completed)
Romansa"Kalian pikir gue sudi ? bahkan nyentuh sehelai rambutnya aja gue jijik, semua yang ada sama dia itu sangat menjijikkan di mata gue, kayak sampah yang udah gak bisa di daur ulang !". Satu hal yang mau gue lihat dari dia adalah hancur se-hancur hanc...