EMPAT

13.8K 580 14
                                    

Semua diam, tidak seperti biasanya yang langsung ramai begitu Zia masuk, kabar meninggalnya bunda Zia menjadi pemberhentian mulut-mulut tajam itu untuk tidak lagi mengeluarkan kata-kata pedas. Baru kali ini Zia masuk setelah satu minggu absen, dan penampilannya sungguh sangat menyedihkan, badannya yang sudah kurus semakin kurus, tulang rahangnya sangat terlihat jelas, wajahnya pucat, pipinya tirus, terdapat lingkar hitam yang sangat jelas dibawah matanya. Beberapa orang yang ada disitu meringis melihat kondisi Zia, tak terkecuali Bima yang sangat iba hanya dengan melihat Zia berjalan, seburuk itukah hidupnya ? kalau begitu apa yang ia katakan pada Zia mengenai kebahagiaan hidupnya yang dirampas itu sangat tidak seberapa, keluhannya yang merasa sakit hati, merasa paling buruk itu sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan apa yang Zia alami.

"Eh Don, sumpah demi nenek moyang gue gak tega banget liat Zia, mayat hidup kalah, kok bisa ya ?". Rion yang duduk satu bangku dengan Doni berbisik sambil sesekali memperhatikan Zia. Tiba-tiba Rion mendapat satu jitakan di kepalanya. "Elo goblok tapi jangan kebangetan napa, ya jelas aja dia kayak gitu, mana ada anak yang abis ditinggal orangtua nya meninggal terus ketawa-ketawa".

"Iya sih, tapi ini miris banget Don, sampek tinggal tulang gitu, kadang gue juga gak tega sih pas ikut ngehujat dia, tapi emang asal mulut gue aja yang gak bisa diem"

"Yaudah dari sekarang dikondisikan tuh mulut, jangan ngikut yang lain mulu". Ucapan Doni mendapat cibiran dari Rion. "Gk usah sok nasehatin deh, kayak yang elo gak pernah ikut ngehujat aja, paling banter lagi !"

"Bodo amat dah, gue ngantuk !". Doni langsung menidurkan wajahnya di bangku tanpa memperdulikan Rion yang seolah masih tidak percaya dengan perubahan Zia.

Jam pelajaran telah usai, bel sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, tapi Zia masih saja tetap pada posisinya, kepala bertumpu pada kedua tangannya, dan yang Bima tahu itu sudah sejak sejam yang lalu, ia berpikir apa tidak pegal terus begitu. "Zia ?" panggilnya, tak ada jawaban, Bima menghampiri dan dengan hati-hati menarik kepala Zia, air mukanya berubah ketika wajah Zia terlihat pucat dan berkeringat, ia pegang keningnya tapi tidak demam, dilihatnya tangan Zia mengepal sampai buku-buku jarinya memutih, Bima segera menggendong Zia keluar kelas dan menuju parkiran, perlahan kedua tangan Zia mengalung pada leher Bima membuat cowok itu semakin mempercepat langkahnya, dan untungnya hari ini ia membawa mobil. Karena bingung, Bima akhirnya membawa Zia kerumahnya, setelah sampai di depan pintu gerbang, Bima membunyikan klakson tanpa henti, tak lama seorang satpam keluar, mobil merah itu masuk hingga di depan pintu utama rumah bergaya eropa. Bima keluar dan menuju pintu samping, mengangkat tubuh Zia yang masih menggigil. Pembantu Bima yang sedang meyiram tanaman segera menghampiri, "Ini siapa den ? dan kenapa ?" tanyanya sambil membukakan pintu, "Temenku Bi, mama kemana ?". Bima berhenti sesaat, "Nyonya barusan pergi keluar kota, katanya ada urusan mendadak gitu".

"Yaudah, minta tolong ambilin selimut sama minyak kayu putih bi". Bima berjalan menuju sofa ruang tamu, berniat menidurkan Zia disana, tapi kedua tangan Zia melingkari leher Bima sangat kuat, akhirnya Bima hanya mendudukan Zia yang juga diikuti olehnya. "Zia ?" panggilnya pelan. "Gue takut, jangan tinggalin gue sendiri". Suara itu sangat miris membuat Bima diam. "Ini den". Suara Bi Narsih akhirnya menyadarkan Bima dari lamunannya, "Oh, iya Bi, makasih, Bibi bisa balik kerja". Ucapnya dengan mengambil selimut juga minyak kayu putih dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih berada di pinggang Zia, ia menyelimuti tubuh Zia dengan satu tangan.

"Gue takut disini", kata Zia lagi dengan mata yang masih terpejam. Bima lalu menarik perlahan kedua tangan Zia dari lehernya dan menarik kepala Zia ke dadanya, lalu dipeluknya cewek itu dengan sangat erat. "Ssst, ada gue disini Zi, gak ada yang perlu elo takutin",suara Bima sangat halus, semua kebenciannya pada Zia menguap hingga tidak tersisa sedikitpun.

"Gak ada yang percaya sama gue, semuanya jauh, semuanya benci sama gue, gue capek banget, harusnya gue yang mati duluan bukan bunda, harusnya malam itu elo tabrak gue aja, gue bakalan sangat berterimakasih sama elo". Zia menangis, suaranya sangat pelan, sungguh kali ini Bima dibuat bisu oleh Zia, ia tidak bisa berkata apa-apa, jika kemarin ia sangat bernafsu menghancurkan hidup Zia bahkan ia akan teramat sangat senang jika cewek itu pergi dari dunia ini sebagai penebus kematian papanya, tapi yang terjadi hari ini adalah jauh dalam hati Bima-setelah kejadian malam itu justru salah satu orang yang paling ingin dilindunginya adalah cewek dipelukannya sekarang. Tidak pernah sekalipun terfikirkan oleh Bima bahwa kebenciannya pada Zia akan lenyap tanpa syarat, untuk mengartikan perasaannya saat ini saja ia tidak tahu. Tapi jika akhirnya ia nantinya jatuh cinta pada Zia, dia tidak akan pernah menyangkal perasaannya itu. Ternyata benar bahwa cinta dan benci itu hanya dihalangi oleh sekat yang tipis, semakin besar perasaan benci itu tumbuh lambat laun perasaan itu akan melewati sekat keduanya dan berubah dengan cinta.

"Zia, sebenernya apa yang terjadi sama elo ?", Bima bertanya, ia yakin Zia sadar bukan mengigau, hanya saja untuk membuka mata masih belum bisa karena tubuhnya masih mengeluarkan keringat dingin. Terdengar tawa dari Zia, tawa yang sangat menyedihkan, kedua matanya masih menangis.

"Sakit, gila, gue butuh tidur, yang lamaaa banget, di tempat yang tenang, disini gue gak pernah ngerasain ketenangan sama sekali, seisi dunia nganggep gue sampah yang dengan seenaknya bisa dilempar kemana-mana, iya kan ?". Zia semakin menyembunyikan wajahnya di dada Bima, kalau boleh meminta Zia ingin seterusnya ada di pelukan Bima, seluruh tubuhnya terasa dingin, kepalanya berat. Mungkin Bima tidak sudi menyentuhnya pikirnya, tapi apa salahnya jika Zia meminjamnya sebentar saja karena perantara satu-satunya sekarang hanya cowok itu, dalam hatinya Zia berjanji ini yang terakhir kali. Sangat bertolak belakang dengan pikiran Bima.

"Apa bener-bener seperti itu sampai elo pengen pergi dari dunia ini ?". Bima menyandarkan punggungnya pada sofa putih itu, tanpa ia sadar tangan kirinya menggenggam tangan Zia. Tak ada jawaban, Bima menunduk memperhatikan wajah Zia namun percuma, yang ia rasakan hanya seragamnya basah oleh airmata Zia, Bima berpikir keras apa yang harus dilakukannya supaya tangis itu berhenti. "Bim, gue takut saat masuk kelas, gue takut saat pulang kerumah, gue takut sendirian, gue takut dengan kata pelacur, gue .. gue takut berhadapan sama elo". Tangis Zia semakin menjadi bahkan suaranya sampai bergetar, "Cara elo ngerendahin gue menakutkan, gue gak berani natap elo lama-lama, tapi sekarang elo jadi obat sesaat buat gue, apa ini cara elo buat bunuh gue ? sekarang gue gak perduli mau elo balas dendam dengan cara apapun, lakuin aja apa yang elo mau Bim, gue gak akan pernah ngelawan. Gue berterimakasih banget untuk saat ini karena elo mau minjemin waktu elo, gue janji ini yang terakhir, gue gak tau mau meluk siapa lagi disaat gue kayak gini"

"Iya ini yang terakhir, karena setelah ini gue juga gak tahu harus bersikap kayak gimana buat ngadepin elo", ucapan Bima hanya dibalas anggukan oleh Zia yang menimbulkan kekecewaan di hati Bima. Lalu terdengar nafas yang teratur menandakan Zia tertidur. Bima membuang nafas kasar, wajahnya sangat dingin. Zia tidak mengerti maksud dari kata-katanya, dan ada penyesalan setelah Zia mengatakan takut padanya, ia membuat Zia sangat takut. Entahlah, pikiran Bima sekarang hanya ada Zia, Zia dan Zia, apakah ia benar-benar sedang merasakan benci yang menjadi cinta ? tiba-tiba ia menginginkan waktu berhenti supaya kedua tangannya masih bisa memeluk Zia.

HEART & HURT (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang