Jarum jam mulai meninggalkan angka sebelas, perlahan jarum terkecil dan teramping berwarna merah itu berjalan memutari deretan angka satu hingga dua belas. Menganyam satuan menit. Laisa masih bersandar di sofa putih yang sudah hampir tiga jam dia tempati. Televisi di hadapannya baru saja dia matikan, bosan dengan rangkaian acara yang sama sekali tidak dapat menghiburnya.
Laisa melirik deretan angka yang membuat barisan lingkaran. Sudah larut dan suaminya belum pulang. Laisa mendesah membuang napasnya berulang kali. Semoga suaminya baik-baik saja. Sudah beberapa bulan suaminya hampir pulang tengah malam. Sibuk alasannya. Dan Laisa sudah barang tentu percaya. Dua tahun belakangan suaminya memang naik jabatan, yang berarti selain gaji yang bertambah, kerjaan pun kian menumpuk.
Laisa menguap untuk yang kesekian kalinya. Setengah dua belas. Akhirnya Laisa memutuskan untuk mengunci pintu rumah, lantas bergelung di bawah selimut Keropinya. Tak butuh waktu lama, mata Laisa pun akhirnya terpejam. Lupakan suaminya untuk saat ini saja, Laisa benar-benar mengantuk.
Baru satu jam mengarungi mimpi, Laisa merasakan ada lengan kokoh yang memeluknya dari belakang. Sangat erat. Laisa perlahan membuka mata, meski harus berjuang melawan kantuk, dan didapatinya suaminyalah yang memeluknya.
"Kamu sudah pulang?" tanya Laisa.
"Baru saja, Sayang."
Laisa terdiam. "Kamu tidak mandi?" Tersadar setelah mencium aroma keringat yang mencuat dan parfum yang agak tersamar.
"Sudahlah ... aku lelah, Lais. Tidurlah."
Laisa hanya menggelengkan kepalanya, suaminya ini tidak berubah selalu malas mandi jika sudah lewat jam sembilan. Laisa tersenyum, inilah suaminya. Lelaki yang telah enam tahun menjadi pendamping hidupnya. Ah, ralat. Delapan tahun jika dihitung sejak masa pacaran.
"Selamat malam, Ang." Laisa mencium pipi suaminya, lalu terlelap dengan lengan balas memeluk tubuh suaminya. Mereguk aroma kelelahan yang menguar dari tubuh lelakinya. Laisa tersenyum.
****
Tak ada yang lebih indah bagi seorang istri jika setelah bangun tidur wajah polos sang suamilah yang menjadi pemandangan pertama yang menyapanya. Wajah lelaki yang selalu mengisi hatinya. Laisa mengecup pipi suaminya setelah lima belas menit menatap pahatan dari Tuhan yang begitu sempurna, kemudian bergegas membersihkan diri. Lalu bersiap di medan pertempuran, memulai peperangan dengan beragam peralatan dapur. Ini adalah bagian favoritnya selain di dalam kamar, memasak untuk suaminya.
Laisa tertegun di depan kulkas merah mudanya. Kulkas yang biasanya penuh dengan beragam bahan makanan mulai dari warna hijau hingga hitam itu kini kosong melompong. Laisa menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan tugasnya untuk berbelanja kemarin? Laisa geleng-geleng kepala, ini pasti karena kemarin seharian dia asyik berkeliling Surabaya bersama Erly, sahabatnya. Lalu untuk sarapan pagi ini apa yang bisa Laisa sajikan? Laisa menengok penanak nasi, bibirnya lantas tersenyum. Setidaknya pagi ini mereka masih bisa sarapan.
Peluh menghiasi kepala dan tubuh Laisa. Rambut hitamnya digelung memakai jepitan plastik. Daster Keropi yang membalut tubuhnya kini tak lagi rapi, ada berbagai kerutan di bagian samping dan bawah. Laisa berdendang riang sambil menyajikan nasi goreng pedas di atas piring. Hanya nasi goreng, tanpa telur ataupun sosis. Laisa menatap geli pada hasil masakannya. Biasanya selalu ada pelengkap juga hiasan sayuran, tapi untuk kali ini nasi goreng itu terlihat mengerikan. Untung saja rasanya masih layak untuk dimakan, dan enak seperti biasanya.
Laisa memanggil suaminya yang masih berada di dalam kamar. Namun langkahnya terhenti ketika melihat suaminya sudah berdiri di depan pintu dengan berpakaian rapi. "Tumben jam segini udah rapi?" tanya Laisa terheran. Ini bukan seperti kebiasaan Angkasa, suaminya. Masih jam enam dan Angkasa sudah siap untuk berangkat ke kantor. Laisa masih mengernyit begitu menatap mata Angkasa.
"Aku ada survei lokasi untuk pembangunan resort baru di Malang, Lais. Rencananya tiga hari aku akan di sana," jelas Angkasa menatap penuh maaf kepada istrinya.
Mata Laisa membulat sempurna, tangannya menutup mulutnya tak percaya. "Kenapa semalam tidak memberitahuku, Ang?"
"Maafkan aku, Lais. Semalam aku lelah sekali," Angkasa menengok jam di tangannya. "Sudah jam enam lebih, aku pergi dulu."
"Kamu melewatkan sarapanmu, Ang."
Angkasa menghentikan langkahnya. "Aku buru-buru, Sayang, kalau kesiangan bisa macet." Angkasa mengecup kening Laisa, lalu bergegas menghilang bersama Juke merah miliknya.
Setetes air mata Laisa jatuh, ada nyeri yang berjengkit di dadanya. Entahlah, Angkasa tidak biasanya melewatkan sarapan pagi mereka. Sesibuk-sibuknya Angkasa di kantor, dia akan selalu menceritakan semua kegiatannya. Tapi pagi ini, kepergian Angkasa ke Malang pun dia tidak tahu. Laisa menghapus titik bening itu. Meyakinkan dirinya sendiri jika Angkasa memang benar-benar sibuk. Serta menghalau firasat aneh yang mulai merambat di sela-sela hatinya.
Jagalah kami, Tuhan.
Laisa berusaha menelan nasi goreng yang mulai dingin. Baru lima sendok tapi perutnya sudah menolak. Wanita itu memejamkan matanya, menghalau titik bening yang ingin berjatuhan. Lagi. Tidak! Angkasa suaminya, dia bekerja untuk keluarga kecil mereka. Untuk masa depan mereka. Laisa menarik napas lalu membuangnya perlahan, terapi menenangkan diri yang sangat murah dan biasanya ampuh. Laisa mulai berpikir positif, sebaiknya hari ini dia pergi ke pasar. Banyak stok makanan yang sudah habis. Dan untuk dua hari ke depan, mungkin dirinya bisa melanjutkan berkeliling Surabaya lagi. Mungkin?
****
The Quest
Vita Savidapius
KAMU SEDANG MEMBACA
The Quest - Bukan Istri Pilihan - Lipstik Di Leher Suamiku [Telah Terbit]
ChickLitPernikahan yang dulu selalu Laisa impikan bak cerita dongeng, kini tak lagi indah. Semuanya baik-baik saja hingga suatu ketika impian tentang keluarga bahagia itu terenggut oleh kebodohan pasangannya sendiri, Angkasa. Mau tak mau Laisa harus menelan...