Bagian 8

6.1K 517 14
                                    

.

.

.

.

Tak bisakah waktu diputar kembali? Menjelajahi masa lalu, membuang kesalahan dan membenarkannya? Tidak. Andai manusia dapat memilih dan menyusun jalan hidupnya sendiri, tentu tak akan ada penyesalan dan kesedihan yang mewarnai hati manusia. Tapi manusia tetaplah manusia. Mahluk ciptaan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yang meramaikan garis takdir dari Tuhan.

Laisa menatap satu persatu foto dirinya dulu bersama Angkasa. Terlihat jelas senyuman kedua orang yang tengah berpose saling berpelukan itu. Angkasa berada di belakang Laisa, memeluk perut Laisa. Dan Laisa yakin seyakin-yakinnya, jika saat itu mata kelam Angkasa memancarkan bias-bias cinta untuknya. Hanya untuknya.

Tapi, mengingat sikap Angkasa belakangan ini yang acuh padanya. Membuat siapa saja yang berada di posisi Laisa akan terasa sakit. Jiwa dan hatinya.

Hanya tiga hari Laisa bisa menebus segala kerinduan yang dia miliki untuk suaminya. Memiliki Angkasa yang hampir seutuhnya kembali seperti Angkasa yang dulu. Jika saja di saat-saat terakhir mereka dulu, nama Inggi tidak muncul.

Laisa bahkan masih mengingat aroma Angkasa, baju-baju yang dikenakan Angkasa selama hari penebusan itu masih belum Laisa cuci. Dia membutuhkannya di saat malam hari jika bayinya menendang-nendang tak dapat terlelap. Memposisikan kemeja atau pun kaos Angkasa seakan-akan memeluk dirinya, nyatanya mampu perlahan membuat bayinya tenang.

Sudah sepuluh hari yang lalu sejak hari penebusan Angkasa usai, Laisa masih saja dapat merasakan kehadiran suaminya itu di setiap sudut rumah mereka. Laisa mengingat betul, bagaimana manjanya dia saat itu. Meminta ini dan itu yang selama lima bulan dia tahan. Mengusap perutnya perlahan, Laisa menutup lembaran foto yang ada dipangkuannya, kemudian berjalan menuju rak untuk mengembalikan album kenangan mereka seperti semula.

"Kenapa, Ang? Jawab aku. Berjanjilah untuk menjadi Ayah yang baik untuk anak kita. Hanya itu satu permintaanku sebagai istrimu untuk yang terakhir kali."

"Aku tidak dapat berjanji, Lais. Aku tak tahu--"

"Kenapa? Apakah kau tidak dapat membagi waktumu dengan anak-anakmu? Bayi ini juga anakmu, Ang, darah dagingmu. Dia juga berhak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, meski kita tidak bisa bersama lagi."

"Aku tahu. Jangan mencoba menasehatiku, Lais. Aku bahkan lebih tahu merawat anak daripada dirimu."

Laisa berusaha memejamkan matanya, kala bayangan itu kembali menghujam ingatannya. Sudah berulang kali dia menasehati dirinya sendiri untuk tidak lagi memikirkan Angkasa, namun Laisa masih membutuhkan lelaki itu. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia ingin saat persalinannya nanti Angkasa berada di sampingnya. Menggenggam dan mengecup puncak kepalanya saat dia berjuang melahirkan anak mereka. Itu harapan Laisa sejak dulu.

"Apakah kau tak ingin melihatnya nanti? Jika dia sudah hadir di dunia ini?"

Angkasa mengendikkan bahu,"mungkin tidak."

"Kau takut jika melihatnya maka cintamu padaku akan tumbuh kembali. Dan--"

"Jangan membuat diriku marah dan menyakitimu, Lais," geram Angkasa menahan amarah.

"Sentuh aku."

"Apa?!! A--apa katamu tadi?" Angkasa memandang Laisa dengan kedua alis saling bertautan.

"Jika kau tidak bisa melihatnya ketika bayi ini lahir. Maka sentuhlah dia saat dia masih di dalam perutku. Rasakan kehadirannya."

"Apa maksudmu?"

The Quest - Bukan Istri Pilihan - Lipstik Di Leher Suamiku [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang