Bagian 7

6.2K 538 21
                                    

.

.

.

.

Lepas pukul tiga dini hari Laisa baru dapat terlelap, dia harus terbangun karena janinnya menendang-nendang kelaparan. Padahal dia hanya tertidur satu setengah jam yang lalu, dan kini dia sedang berperang dengan teflon dan kompor di dapur. Sepuluh menit kemudian dua tangkup roti bakar berisi butiran mises coklat sedang berpindah dari atas piring ke dalam mulutnya. Laisa tak sempat menanak nasi, jadi dia memanggang sisa roti tawar kemarin lalu membuat segelas coklat panas.

Perkembangan janinnya memang sangat baik dan aktif, membuat Laisa merasa bahagia bisa mengolah emosinya dengan baik. Memilah mana yang harus dia lepas dan mana yang harus dia hadapi. Meski jauh di dalam lubuk hatinya dia ingin semua bebannya terangkat secepatnya, agar dia bisa lebih fokus menghadapi persalinannya nanti.

Laisa perlahan mengunyah roti yang tinggal setengah itu, sesekali dia menyeruput coklat panasnya. Menyambut pagi dengan sarapan seorang diri di dini hari bukanlah impiannya. Laisa tahu betul jika sebuah pernikahan tidaklah selalu bermanis-madu, namun salahkah dia yang selalu mendambakan pernikahan yang harmonis? Semua perempuan pasti selalu ingin pernikahannya baik-baik saja.

"Kau yakin?" tanya Angkasa pada akhirnya setelah terdiam cukup lama.

Bahkan suaminya sendiri meragukan kehamilannya, disaat perut Laisa yang sedikit menggembung menjadi bukti otentik. Laisa meneguk coklatnya hingga tandas, lantas mencuci mug dan piring di bak pencuci piring.

"Tak bisakah kali ini saja kau percaya, Ang? Ini anakmu, darah dagingmu. Bayi yang kita tunggu-tunggu selama lima tahun."

Bagaimanapun Laisa membutuhkan Angkasa, dia selalu berharap kehadiran calon buah hati meteka bisa mengetuk pintu hati Angkasa yang terkunci.

"Jangan coba-coba membohongiku, Lais! Aku tahu kau marah dan benci padaku, tapi tidak seharusnya kau melukai harga dirimu dengan mengaku hamil anakku. Buang rasa irimu pada Inggi, tidakkah lebih baik kita berpisah tanpa adanya anak itu?"

Kalau Laisa tidak mengingat dia berada di mana saat itu, mungkin dia akan mencekik Angkasa saat itu juga. Dia pikir ini sandiwara? Oh Tuhan, bahkan dalam secuil dendamnya pada wanita itu tak sekalipun terbersit hasratnya untuk berpura-pura hamil. Disaat Laisa benar-benar berdiri dan keluar dari ruangan dokter Ruly, Angkasa masih juga meragukan kehamilan Laisa.

"Terserah apa katamu, Ang. Yang jelas bayi ini anakmu. Anak kita."

Laisa mengingat betul, jika disaat dirinya dan Erly keluar dari ruangan dokter Ruly, Angkasa sempat terkejut melihatnya. Namun Angkasa justru menyangkalnya, memutarbalikkan fakta yang ada. Seakan enggan menerima dan terikat kembali dengan Laisa.

Laisa kembali ke kamar tidurnya, hari masih petang dan Laisa ingin melanjutkan tidurnya. Sejenak melupakan kejadian tiga bulan lalu. Menelusuri alam mimpi yang fiksi sekalipun nyatanya lebih membuat Laisa tertarik daripada menghadapi kenyataan hidup yang harus dia jalani.

*****

Laisa sedang tidak baik-baik saja, hati dan pikirannya terluka. Selama tujuh bulan kehamilannya dia menghadapi sendiri segala morningsickness yang kerap menyapanya di trimester pertama hingga trimester kedua kehamilannya. Kini dia sedikit lega, mual-mual itu telah pergi dengan sendirinya, berganti dengan rasa lapar yang tak berkesudahan. Mungkin anaknya sedang balas dendam dengan makanan.

Mengawali pagi dengan berolahraga ringan, kemudian jalan-jalan sebentar di sekitar komplek perumahan, Laisa bersiap menyambut hari dengan tersenyum. Berdandan sedikit lantas mengenakan long dress kuning pucat, Laisa mengemudikan Honda jazznya keluar rumah menuju tempat favoritnya. Sudah sebulan ini Laisa dan Erly resmi membuka kafe di daerah Lidah, memanfaatkan lokasi yang berdekatan dengan salah satu universitas negeri di Surabaya.

The Quest - Bukan Istri Pilihan - Lipstik Di Leher Suamiku [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang