Bagian 6

6.2K 536 6
                                    

.

.

.

Laisa menggigil dalam tidurnya, seharusnya dia mengatakannya, seharusnya dia jujur pada Angkasa. Tapi rasa sakit lebih dulu menguasai hati. Laisa sama sekali tidak menduga--bahkan dalam mimpi sekalipun--jika dia akan dibohongi seperti ini. Laisa menekan dadanya, rasa sakit di hatinya teramat perih. Andai dia tahu sedari dulu, andai dia tidak begitu saja percaya pada janji Angkasa, andai dia tidak menikah dengan Angkasa, dan andai-andai yang lainnya memenuhi kepala Laisa.

Sekarang Laisa bingung harus meratapi atau bersyukur. Laisa bahagia tentu saja, saat tahu dirinya tengah mengandung buah cintanya. Ah, calon anaknya. Tapi Laisa juga bersedih, karena menerima kenyataan pahit dari Angkasa, tentang wanita itu, yang ternyata wanita masa lalu suaminya.

Laisa memejamkan matanya, berusaha menghalau bayangan pertengkarannya dengan Angkasa dua hari lalu. Masih terngiang dengan jelas di kedua telinga kenyataan yang membuat napasnya terhenti sejenak, Laisa benar-benar tidak percaya. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui semua ini? Dan Anggi? Laisa membayangkan sosok gadis kecil yang bergelayut manja di leher Angkasa. Laisa terisak, seharusnya anaknya yang lebih dulu merasakan kebahagiaan itu. Seharusnya anaknya yang pertama kali dipeluk Angkasa, bukan gadis kecil itu.

Menarik selimut menutupi lehernya, Laisa mencari kehangatan dari dinginnya udara malam. Dulu, dia bisa mendapatkan pelukan Angkasa. Tapi kini itu semua sudah berakhir, Angkasa pergi meninggalkannya sendirian. Bahkan sebelum sempat Laisa memberitahu akan kehadiran calon anak mereka.

Hari semakin malam, sunyi dan dingin, menemani Laisa yang tertidur sambil memeluk perutnya sendiri. Dia butuh istirahat, menenangkan hatinya yang sudah terlanjur luka barang sejenak.

***

Sinar matahari pagi yang menerobos melalui celah-celah jendela kaca menusuk wajah Laisa yang masih setengah mengantuk. Perlahan kelopak mata itu terbuka, mengerjap sebentar untuk menyesuaikan cahaya di sekitarnya. Laisa menutup mulutnya karena menguap terlalu lebar. Astaga, Laisa benar-benar masih mengantuk.

Melempar selimut dari tubuhnya, Laisa meninggalkan tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Lima belas menit kemudian Laisa keluar dari kamar mandi dengan menggunakan jubah mandi putih milik Angkasa. Tiba-tiba Laisa merindukan lelaki yang dua hari lalu telah meninggalkannya demi wanita lain. Aneh! Seharusnya Laisa masih membenci Angkasa, tapi rasa rindu yang sudah memupuk jauh-jauh hari sejak pertama kali Angkasa menghilang sebulan lalu kini kian membuncah. Menutupi amarah dan kebencian yang semalam masih menghuni hatinya.

Mungkin karena faktor kehamilan yang membuat perasaannya menjadi jungkir balik tak karuan. Berdiri di depan kaca, Laisa menyisir rambutnya yang masih meneteskan sedikit air. Memandang lekuk wajah dan tubuhnya dengan teliti. Kulit yang putih dipadukan dengan rambut panjang yang sedikit pirang, serta hidung mancung dan jangan lupakan mata hazelnya yang indah. Oh, juga bibir merah muda yang penuh dan pas.

Laisa menatap bayangan di depannya sekali lagi, kemudian menarik napasnya perlahan. Laisa merasa sudah cantik, bahkan mendekati sempurna, tapi kenapa Angkasa masih bisa berpaling darinya? Kurang sempurnakah dia sebagai seorang istri? Ataukah memang wanita itu lebih menarik darinya? Lalu apa kekurangannya selama ini?

Huft!

Bahkan Angkasa pun tak bisa mengatakan apa kekurangannya, jadi di sini memang suaminyalah yang brengsek! Laisa mengeram dalam hati, dia tidak boleh pasrah pada apa yang Angkasa perbuat. Tapi Laisa butuh Angkasa, demi anaknya kelak.

Perut Laisa menjadi mual karena terlalu bingung dengan pemikirannya sendiri. Laisa menarik napas lalu membuangnya perlahan, menekan rasa mual yang masih memenuhi rongga perutnya. Sambil memegangi perut dan tangan satunya membekap mulut, Laisa berlari menuju wastafel. Memuntahkan apa yang ada di dalam perutnya, namun yang keluar hanyalah angin saja.

The Quest - Bukan Istri Pilihan - Lipstik Di Leher Suamiku [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang