Menyimpan sesuatu seorang diri memang tidak baik untuk kesehatan hati. Apalagi jika yang disimpan adalah bara yang sudah siap untuk membakar apa pun. Tinggal menyulut api sedikit saja, sudah dipastikan semuanya akan menjadi abu. Menyejukkan pikiran dengan berserah diri kepada Tuhan, juga masih tak mampu meredam kilatan api di dada. Laisa menarik napas panjang, bagaimana bisa? Dia sudah kecolongan. Laisa menghapus air mata yang masih mengalir bak sungai di musim hujan. Sudah sejak kepergian Angkasa empat jam yang lalu dia menangis. Menangisi sesuatu yang menimpa keluarga kecilnya.
Laisa menggeleng pelan, mengusir bayangan-bayangan yang merasuki pikiran keruhnya. Kali ini dia harus bertahan, demi keutuhan cintanya. Menguatkan hati disaat kegamangan melanda tidaklah mudah. Namun dia harus meminta penjelasan Angkasa terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu. Sesuatu yang sangat ditakutinya.
Deru mobil di halaman menyadarkan Laisa dari lamunannya. Laisa keluar dari kamarnya setelah mencuci muka. Menyamarkan kesedihan, dia tidak ingin terlihat mengenaskan di hadapan Angkasa. Perlahan derap langkah kaki Angkasa di tengah kesunyian bak adegan slow motion yang membuat tubuh Laisa tegang. Kau bisa, Lais!
"Kau belum tidur?" Angkasa terkejut mendapati istrinya masih terjaga.
"Aku menunggumu," lirih Laisa sambil berjalan menghampiri Angkasa.
Angkasa meletakkan tas kerjanya di atas meja, lalu berjalan mendekati istrinya, "sudah malam, Lais ... tidurlah. Aku lelah." Angkasa meninggalkan Laisa yang masih bergeming. Angkasa benar-benar lelah. Dia pulang dari Malang pagi tadi, dan sekarang dia baru saja pulang dari meeting dadakan.
"Tidakkah kau ingin menjelaskan sesuatu?" sergah Laisa.
Angkasa menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menghadap Laisa kembali. Raut penuh tanya nampak jelas di wajahnya. "Penjelasan?"
Laisa mengangguk, memandang suaminya seraya menunggu. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Masih sunyi.
"Penjelasan apa, Lais?"
"Apa saja," sahut Laisa cepat. Mulutnya sudah gatal ingin mencerca Angkasa dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Namun Laisa ingin mendengar penjelasan Angkasa sendiri. Dari hati lelaki yang kini memandanginya dengan alis bertautan. Ayolah Ang, katakan sesuatu. Batin Laisa bergejolak, andai dia tidak mengingat siapa dirinya, tentu Laisa sangat ingin memburu suaminya itu.
"Kau pasti sudah lelah, ayo kita tidur." Angkasa meninggalkan Laisa yang masih terkejut dengan jawaban suaminya. Tidak ada penjelasan. Sama sekali tidak ada! Itu artinya Laisa harus mencari tahu sendiri.
Laisa menyusul Angkasa ke dalam kamar, ikut merebahkan tubuh di atas ranjang di samping suaminya. Mata Laisa memandang wajah terlelap lelaki yang selalu menghuni hatinya itu. Dia masih lelakiku.
****
Setelah Angkasa masuk ke dalam kamar mandi, Laisa menyiapkan pakaian yang akan dikenakan suaminya. Lalu berjalan ke sisi ranjang duduk di sana seraya menunggu suaminya selesai. Pandangan Laisa tertahan pada benda pipih yang bergetar di atas ranjang. Laisa hanya diam menunggu, itu milik Angkasa. Namun ponsel itu kembali bergetar, akhirnya Laisa mengambilnya. Hanya sebuah nama namun membuat mata Laisa memanas.
'My Angel'
Laisa tidak menjawab panggilan itu. Namun jemari Laisa bergerilya menjelajahi pesan dan jejaring sosial milik Angkasa. Semuanya tidak ada yang mencurigakan. Hanya saja pesan darinya kemarin-kemarin memang belum dibaca oleh Angkasa. Mungkin belum sempat, atau juga sengaja tidak dibaca. Laisa menggeleng perlahan mengenyahkan dugaan terakhirnya, Angkasa mungkin sibuk sekali. Laisa masih terus menjelajahi isi ponsel suaminya, membuka galeri sambil menahan napas. Tubuh Laisa kaku seketika, matanya memanas. 'Tidak mungkin! Ini pasti kesalahan.'
KAMU SEDANG MEMBACA
The Quest - Bukan Istri Pilihan - Lipstik Di Leher Suamiku [Telah Terbit]
ChickLitPernikahan yang dulu selalu Laisa impikan bak cerita dongeng, kini tak lagi indah. Semuanya baik-baik saja hingga suatu ketika impian tentang keluarga bahagia itu terenggut oleh kebodohan pasangannya sendiri, Angkasa. Mau tak mau Laisa harus menelan...